Share |

Artikel 1

INTENSITAS


Acep Zamzam Noor



SAYA punya kegemaran berjalan-jalan. Saya senang menyusuri trotoar yang ada kakilimanya, yang sering memaksa saya untuk jongkok berlama-lama, mengamati macam-macam barang terutama batu-batu akik dan kain-kain batik bekas. Saya senang keluar masuk pasar, mengamati orang-orang. Kadang mencari sepatu, mencari jaket atau celana jean di pasar loak. Saya juga sering keluar masuk dept. store atau mall, mengamati merek-merek pakaian terkenal sambil belajar membedakan mana yang asli dan palsu. Mencoba berapresiasi pada merek sepatu, arloji dan minyak wangi. Saya rajin duduk-duduk minum kopi di kafe sambil mengamati para ABG dan ibu-ibu muda yang berbelanja, berapresiasi pada gaya dandanannya. Saya sering tertarik pada rambut mereka yang warna-warni, seperti halnya saya tertarik pada puisi-puisi sufi.


Saya senang mengunjungi desa-desa terpencil, berjalan sepanjang pematang atau pinggir kali. Saya sering makan atau minum kopi di warung pinggir jalan. Ngobrol dengan tukang-tukang becak atau ibu-ibu warung tentang kenaikan harga. Kadang mengunjungi pesantren-pesantren di pedalaman, menikmati suasananya, mengamati kehidupan para santrinya dan berapresiasi pada nilai-nilai kesederhaaannya. Kadang bercakap-cakap dengan kiai, baik kiai asli maupun yang masih berusaha untuk disebut “kiai”. Saya sering berdialog dengan para aktivis atau politisi lokal dan berusaha memahami kenapa mereka gemar memakai baju safari. Saya juga sering didatangi broker politik yang pasih mengutip ayat suci. Tapi setiap mengamati wajah mereka saya selalu menemukan “kepentingan” di bola matanya. Wajah mereka sering berubah-ubah baik bentuk maupun warnanya, tergantung cuaca. Kadang wajah mereka mirip Bung Karno, kadang mirip Pak Harto, Habiebie bahkan Gus Dur, Amien Rais atau Hasyim Muzadi. Kadang wajah mereka berwarna kuning, merah, hijau, biru atau hitam.


Tapi saya juga bisa bertahan lama mendekam sendirian di rumah. Melukis atau menulis puisi terus sampai sakit ambeien saya kambuh. Kadang ngobrol dengan teman-teman seniman sambil merencanakan kegiatan kesenian, atau berdiskusi soal politik dengan para mahasiswa yang sering mengajak saya demonstrasi. Atau hanya menerima tamu-tamu. Meski bukan kiai, saya sering menerima tamu-tamu aneh yang tidak saya kenal sebelumnya. Mulai dari yang kehabisan ongkos, yang minta sumbangan, yang minta tanda tangan, yang minta dicariin jodoh, yang minta nama untuk anaknya, yang ingin merubah namanya sendiri, yang ingin didoakan menjadi bupati sampai yang minta saran untuk poligami. Ketika sekali waktu saya kehabisan uang dan berharap dikunjungi kolektor lukisan, yang datang malah provokator. Tentu saja semua yang datang saya terima dengan senang hati, sebagai bagian dari silaturahmi. Semua saya layani tanpa meminta imbalan apapun, karena saya bukan dukun.


Saya juga suka bersilaturahmi dengan seniman-seniman tradisional, kadang mengunjungi mereka dan mengundang mereka untuk tampil di halaman rumah saya. Atau mengundang mereka “talk show” di radio untuk membicarakan persoalan-persoalan mereka. Tarawangsa, Pantun Beton, Terebang Gebes, Terebang Sejak, Beluk, Ronggeng Gunung, Rengkong dan Debus adalah di antara yang pernah saya tampilkan. Saya sangat kagum pada mereka, yang tetap mempunyai semangat dan vitalitas meski sudah terpinggirkan. Dari mereka saya banyak belajar bagaimana tetap bersemangat dan terus berkarya meski lukisan-lukisan saya jarang laku. Meskipun puisi-puisi saya tak banyak menghasilkan uang.


Banyak cara yang saya lakukan untuk terus bersilaturahmi, misalnya memenuhi berbagai undangan untuk baca puisi, diskusi, seminar, workshop, festival atau menjadi juri tanpa mempedulikan apakah acara tersebut tingkat RT, desa, kecamatan, provinsi, nasional maupun internasional. Saya juga selalu berusaha menghadiri atau menonton berbagai pertunjukan maupun peristiwa kesenian, termasuk upacara-upacara adat. Saya selalu berusaha menikmati dan mengapresiasi kesenian apapun yang saya saksikan, baik yang tradisional maupun kontemporer, baik yang digelar di kota maupun di kampung, baik karya seniman terkenal maupun karya anak-anak sekolah. Kadang saya tertarik menulis catatan-catatan kecil tentangnya tanpa bermaksud menjadi seorang kritikus. Catatan-catatan tersebut merupakan bagian dari cara saya bersilaturahmi, berapresiasi serta melatih sikap “toleransi” terhadap karya-karya orang lain.


Apakah antara silaturahmi, demonstrasi dan proses kreatif saya sebagai seniman ada hubungannya? Saya kira sangat erat hubungannya. Setiap seniman pasti punya cara, selera, kebiasaan, serta keyakinan estetik yang berbeda-beda. Saya sendiri menganggap proses kreatif saya sebagai pelukis, penyair, seniman, aktivis kesenian atau apapun tak lebih dari proses kehidupan saya sehari-hari. Kesenangan melakukan perjalanan jauh, mengunjungi tempat-tempat tertentu, minum kopi di kafe atau pinggir jalan, meledek anggota dewan, pergi ke salon kecantikan untuk creambath atau menasihati pejabat agar segera bertobat, merupakan bagian dari proses kreatif saya, baik sebagai seniman maupun sebagai manusia. Begitu juga kegiatan saya menerima tamu-tamu, termasuk tamu yang ingin menipu saya.


Sekecil apapun pengalaman atau peristiwa yang saya alami dari hari ke hari, merupakan bagian penting dari proses kreatif saya. Berbagai pengalaman itu mengendap menjadi semacam kesadaran, kepedulian, rasa kemanusiaan serta persaudaraan saya. Menjadi semacam lingkungan sosial dan politik saya. Pengalaman-pengalaman itu telah banyak mempengaruhi karya-karya yang saya ciptakan selama ini. Saya percaya, semakin banyak suara yang saya dengar, wajah yang saya lihat, manusia yang saya cintai, peristiwa yang saya alami, persoalan yang saya ikut pecahkan, wilayah berkesenian saya akan menjadi semakin luas. Berkesenian tak lagi selalu tergantung pada suasana hati tertentu, pada alat atau media tertentu, juga pada lokasi di mana saya berkarya: di pusat kota atau di kampung terpencil.


Saya ingin berkesenian seperti menjalani kehidupan sehari-hari. Saya ingin intensitas berkesenian saya bukan hanya muncul ketika menghadapi mesin tik, komputer, kertas atau kanvas saja, tapi juga ketika saya jalan-jalan, berkenalan dengan perempuan, berbicara dalam diskusi, berdebat dengan para politisi, protes pada kebijakan pemda, jatuh cinta pada anggota dewan termuda, nonton televisi, mendengar radio, membaca koran dan lain-lain. Jika pun saya menyaksikan penindasan, kelicikan, ketidakadilan, kemunafikan, korupsi dan kawan-kawannya masih tetap merajalela di negeri ini, tentu saya hanya akan meresponsnya dengan cara-cara berkesenian. Kalaupun gerakan politik terpaksa harus dilakukan, itu pun tetap dengan semangat berkesenian yang tentunya akan berbeda dengan yang dilakukan orang-orang partai atau aktivis politik.


Mungkin karya atau gerakan saya tidak akan bisa menghentikan semua yang menjengkelkan itu, tapi sebagai seniman saya harus tetap berkarya dan berkarya. Meskipun negara tak henti-hentinya dilanda berbagai kerusuhan dan perang saudara, seorang seniman jangan sampai kehilangan dorongan untuk terus bermain-main dan tertawa-tawa. Bukankah main-main dan tertawanya seorang seniman merupakan pencerahan yang berguna bagi kesehatan bangsa ini? Meskipun korupsi tak mungkin dihentikan di negeri ini, seorang seniman jangan sampai kehilangan mimpi. Bukankah mimpinya seorang seniman bisa menjadi inspirasi bagi negeri yang sedang kebingungan ini?


Karya seni saya merupakan respons dari penghayatan subyektif saya terhadap berbagai gejala dan peristiwa di sekeliling. Mungkin wujudnya tidak sama persis dengan yang saya lihat atau yang saya dengar sehari-hari. Berbeda dengan berita-berita politik yang dimuat di koran atau ditayangkan televisi. Berbeda dengan teriakan para demonstran di jalan-jalan raya. Lain dengan obrolan yang dibawa tamu-tamu saya. Bagi saya subyektivitas dalam berkesenian sangat penting, dan itu merupakan gambaran dari intensitas seorang seniman. Baik intensitasnya dalam berkarya maupun dalam menjalani kehidupan sebagai manusia.


Tema bukanlah hal yang paling utama bagi saya. Persoalan-persoalan kecil atau sehari-hari sama menariknya dengan peristiwa-peristiwa besar atau pengalaman-pengalaman gaib, yang belum tentu saya alami. Begitu juga hal-hal yang menjengkelkan dan menyenangkan dalam kehidupan, sama saja. Yang menjadi persoalan bagaimana saya dapat mengungkapkannya dengan intens, dan bagaimana saya bisa mencapai intensitas itu. Kesegaran dan kebaruan hanya akan lahir dari intensitas, sekalipun dalam suasana bermain-main. Saya berkesenian pun karena ingin menjalani kehidupan ini dengan intens, dengan khusyuk dan gembira. Bukan karena ingin disebut penyair, pelukis atau seniman.


Dan jika sekali waktu saya ditakdirkan menjadi seorang presiden misalnya, maka kepemimpinan saya pun harus menggambarkan intensitas saya. Seperti halnya karya seni, kepemimpinan yang intens itu sangat subyektif. Dan intensitas tertinggi adalah bersenyawanya yang santai dengan yang serius, yang main-main dengan yang sungguh-sungguh, yang terencana dengan yang improvisasi. Dengan demikian, seorang presiden bisa saja bicaranya ceplas-ceplos serta tingkah lakunya sering tidak mengindahkan aturan protokoler yang ada. Presiden demikian adalah presiden yang sudah mencapai maqom intens, maqom yang sudah bisa mengatasi berbagai persoalan berat dan serius dengan santai dan gembira. Presiden yang mampu membuat rakyatnya tetap tertawa meskipun sedang menderita. Presiden yang masih sempat bercanda ketika negara dilanda teror atau bencana. Maka jangan heran jika kepemimpinan model begini akan sulit dipahami orang, apalagi oleh para politisi yang jiwanya selalu tegang. Namun siapa tahu malah cocok untuk bangsa yang absurd seperti Indonesia ini.


(2001)

Prev Next