Share |

Artikel 9

TASIKMALAYA KOTA DANGDUT


Acep Zamzam Noor



JIKA diminta membicarakan persoalan Tasikmalaya, saya tidak bisa melepaskan diri untuk tidak menyinggung dangdut. Bukan semata-mata karena Rhoma Irama, Caca Handika, Evie Tamala, Itje Tresnawati, Cucu Cahyati, Vetty Vera, Sona Orama atau Alam berasal dari Tasikmalaya. Bukan semata-mata karena dangdut di Tasikmalaya mempunyai sejarah panjang dengan orkes melayunya yang legendaris. Juga bukan semata-mata karena umumnya masyarakat Tasikmalaya, mulai dari pengemis sampai pengusaha, mulai dari tukang kopi sampai bupati sama-sama maniak dangdut. Mungkin bukan sebuah kebetulan jika bupati atau walikota yang menggemari dangdut (apalagi yang berkumis) biasanya mampu bertahan lebih dari satu periode, sementara yang kurang apresiasinya terhadap dangdut (apalagi yang tidak berkumis) entah kenapa jarang terpilih lagi.


Dalam pengamatan saya, dangdut bagi masyarakat Tasikmalaya bukan hanya mendarah-daging namun tanpa disadari sudah menjadi semacam ideologi. Tentu banyak yang keberatan atau bahkan kebakaran jenggot dengan generalisasi yang saya lakukan ini. Keberatan karena tidak mau dikategorikan sebagai penggemar musik yang sering dianggap kampungan. Atau bisa jadi kebakaran jenggot karena merasa religius sehingga menilai dangdut identik dengan maksiat. Semua boleh-boleh saja. Namun jika mau mengamati lebih jeli, dengan sangat mudah kita akan menemukan bukti bahwa perilaku atau kecenderungan umum masyarakat Tasikmalaya – apapun lapisan sosialnya – ternyata sangat dangdut.


Sebagai salah satu jenis musik populer, dangdut mempunyai karakter yang kuat. Musik ini lahir dari campuran beragam budaya: India, Arab, Latin dan tentu saja Melayu sebagai pintu masuknya. Dangdut menjadi tambah lezat dengan masuknya unsur lain seperti rock, reagae, disko, koplo, mandarin, keroncong dan juga musik daerah seperti tarling. Jika kemudian musik yang dikenal sangat egaliter ini disukai banyak kalangan, banyak lapisan, banyak etnis atau suku rasanya wajar karena setiap orang terwakili keprimordialannya. Di Tasikmalaya kebetulan etnis-etnis yang budayanya bersinggungan dengan dangdut ini hampir semuanya ada.


Dangdut mungkin sebuah paradoks. Iramanya yang mendayu-dayu, dengan hentakan gendang serta liukan suling bambu memang sangat potensial untuk mengiringi sebuah tarian komunal, sebuah joget massal. Para penyanyinya selalu menawarkan keriangan dan kegairahan meskipun harus dibalut dengan ratap penuh kesedihan dari lirik-liriknya. Maka setiap saya menikmati dangdut selalu terbayang berbagai persoalan sosial yang sedang menimpa negeri ini. Terbayang bagaimana rakyat kecil begitu gembira merayakan penderitaannya dengan berdangdut. Mereka berjoget penuh kekhusyukan, menggoyangkan tubuhnya dengan mata terpejam, menghayati atau mungkin melupakan kepahitan hidup sehari-hari. Dalam dangdut kegembiraan dan kesedihan menjadi sebuah harmoni.


Terbayang bagaimana para birokrat berkaraoke bersama relasi-relasi bisnisnya, baik di kolam-kolam pemancingan ikan maupun di kafe-kafe hotel berbintang. Sebagai manusia tentu mereka juga memerlukan katarsis, membutuhkan semacam pencerahan dengan bernyanyi dan berjoget. Terbayang juga bagaimana panggung-panggung kampanye yang dimeriahkan penyanyi berbusana seksi, yang menjadi ironis dengan pidato penuh busa dan janji dari para politisi. Apakah para politisi itu menghayati lirik-lirik dangdut yang merupakan gambaran nyata masyarakat bawah yang ingin diwakilinya, atau hanya numpang hura-hura sambil mengumpulkan massa? Lebih dari sekedar paradoks, dangdut memang mengandung parodi dan bahkan tragedi, yang membuat tawa dan tangis menjadi tidak jelas lagi batasannya.


Seperti halnya kota-kota kelas kabupaten yang lain, di Tasikmalaya juga terdapat sejumlah kafe yang biasa menggelar dangdut secara live, baik yang berlokasi di hotel maupun tempat-tempat khusus. Setiap malam pengunjungnya selalu banyak, termasuk aparat keamanan yang biasa melepas penat dengan berjoget. Di samping itu banyak juga warung remang-remang (sebagian menamakan diri kafe juga) yang memutar keras-keras lagu dangdut, pengunjungnya ramai termasuk tukang-tukang becak yang ikut berjoget di luar. Berulang kali tempat-tempat bersantai seperti ini diobrak-abrik sekolompok orang yang berjubah putih, berulang kali pula terjadi keributan antara sesama aparat. Sejumlah kafe atau warung terpaksa tutup, namun tak lama kemudian buka lagi seperti biasa.


Apapun yang terjadi dangdut tetap saja digemari, termasuk oleh mereka yang suka berjubah putih itu. Penyanyi-penyanyi baru terus lahir, baik lewat lomba-lomba maupun pentas organ tunggal yang merajalela sampai ke desa-desa. Banyak orangtua yang bermimpi ingin merubah kondisi ekonomi dengan berharap secara berlebihan pada anak-anaknya yang berbakat nyanyi. Banyak ibu-ibu (terutama dari kalangan menengah) yang menyalurkan hasrat terpendamnya dengan mengikuti latihan aerobik di sanggar-sanggar senam, di mana dangdut menjadi pengiring utama setiap latihan. Di sanggar-sanggar inilah tanpa sungkan mereka berlatih gerakan-gerakan yang biasa diperagakan Inul Daratista dan Anissa Bahar. Sementara masyarakat bawah (yang sebagian besar berjilbab) setiap minggu pagi berlatih gerakan-gerakan yang sama pada senam massal di lapangan terbuka, yang pesertanya bisa sampai ratusan orang.


****


Tasikmalaya juga sama paradoksnya dengan dangdut. Selain dikenal sebagai lumbung penyanyi, pemasok tukang kiridit ke berbagai penjuru tanah air, penghasil kerajinan seperti mendong dan bordir, juga dikenal orang sebagai gudangnya pesantren. Pesantren-pesantren tua dan ternama umumnya berada di daerah pinggiran atau pedalaman. Adapun yang berada di lingkungan kota masih bisa dihitung dengan jari, itu pun kebanyakan pesantren baru. Setelah reformasi banyak politisi dari partai-partai tertentu yang merasa geer dan bermimpi ingin menerapkan syariat Islam di Tasikmalaya. Mereka melempar wacana dengan memasang spanduk-spanduk yang di antaranya mengkampanyekan “Tasikmalaya Kota Santri”, di samping pernyataan perang terhadap segala macam bentuk kemaksiatan.


Saya termasuk yang sering mengkritisi ulah para politisi berkedok agama itu. Kenapa? Karena saya menilai bahwa wacana yang mereka lemparkan bukan untuk kepentingan santri atau pesantren, paling hanya kepentingan jangka pendek partainya sendiri. Pesantren-pesantren besar di Tasikmalaya sudah berdiri jauh sebelum kemerdekaan dan mereka tidak ada urusan dengan pelabelan atau gelar atau sebutan semacam itu. Semua orang sudah tahu bahwa di wilayah ini terdapat ratusan pesantren dan ribuan santri yang tersebar di desa-desa. Dengan pelabelan seperti itu seolah-olah santri merupakan “barang baru” yang perlu ditawarkan atau diiklankan. Selain itu, mereka lupa bahwa penghuni utama kota ini, terutama yang menguasai jalur-jalur perekonomian umumnya keturunan Tionghoa, yang jelas tidak bisa dikategorikan santri.


Semangat menerapkan syariat Islam dari para politisi ini ternyata hanya eforia semata, soalnya wacana yang mereka gulirkan kemudian tenggelam dengan sendirinya. Memang sempat ada perlawanan dari sekelompok masyarakat, namun yang jelas wacana tersebut justru dikubur perilaku mereka sendiri yang memang tidak islami. Seandainya wacana itu benar-benar dilaksanakan, saya tidak bisa membayangkan bagaimana jalannya pemerintahan dengan sebagian besar birokrat (juga wakil-wakil rakyat) yang tangannya pada buntung. Bukankah dalam syariat Islam setiap orang yang mencuri harus dipotong tangannya? Tak bisa dipungkiri korupsi terus berlangsung di “kota santri” ini meskipun sedikit sekali pelakunya yang diadili.


Kalaupun ada wacana yang sempat terwujud dari eforia ini paling hanya keharusan pegawai negeri memakai baju koko setiap hari Jum’at. Pemerintah dan DPRD menganggap baju koko sebagai busana muslim yang sudah selayaknya dibuatkan peraturan mengenai pemakaiannya. Namun lagi-lagi mereka lupa atau mungkin tidak tahu bahwa yang namanya baju koko itu berasal dari kebudayaan Tionghoa. Ketika saya iseng-iseng mengingatkan hal tersebut pada wakil bupati, barulah alasannya direvisi. Kini bukan lagi atas nama syariat Islam, namun demi memajukan kerajinan bordir di Tasikmalaya. Alasan yang terakhir ini menurut saya jauh lebih masuk akal.


Tidak lama setelah masa eforia, koran-koran memberitakan bahwa peredaran miras dan narkoba di “kota santri” konon tertinggi di Jawa Barat, setelah Bandung tentunya. Begitu juga yang terjangkit HIV/AIDS angkanya benar-benar di luar dugaan. Sementara para PSK, waria atau ibu-ibu tukang pijat banyak yang mengenakan jilbab kalau sedang “berdinas malam”, konon karena rambut mereka pernah digunduli kelompok jubah putih saat kena razia. Ironisnya, ketika mendapat kepercayaan menjadi tuan rumah MTQ Jawa Barat 2003, kontingen “kota santri” ini hanya menempati urutan ke-17, jauh di bawah daerah-daerah lain yang mungkin dianggap “abangan” seperti Bekasi, Karawang, Subang atau Indramayu.


Maka tidak terlalu mengherankan jika pada Pemilu 2004 wacana mengenai penerapan syariat Islam dan “kota santri” menjadi kurang kedengaran lagi gaungnya. Meskipun begitu, toh masyarakat tetap melaksanakan syariat yang memang sudah menjadi kewajibannya sehari-hari. Pesantren-pesantren tetap melakukan aktivitas pengajian seperti biasa, santri-santri dari berbagai daerah tetap berdatangan ke Tasikmalaya. Kegiatan-kegiatan dakwah tetap berlangsung di kampung-kampung. Begitu juga dangdut sebagai musik rakyat tetap digemari.


“Tasikmalaya Kota Santri” akhirnya memang tidak jadi dideklarasikan, apalagi sampai diperdakan. Begitu juga penerapan syariat Islam seperti dilupakan begitu saja. Para birokrat, wakil rakyat dan politisi yang dulu bersuara keras nampaknya lebih sibuk mengurus dan memperjuangkan dirinya masing-masing. Mengamankan posisi dan kedudukannya masing-masing. Sementara para aktivis LSM yang diharapkan bisa bersikap kritis malah berlomba-lomba merapat pada kekuasaan. Dan seperti halnya karakter dangdut, perilaku para aktivis juga ternyata sangat paradoks. Mereka berteriak seolah ingin membela kepentingan rakyat, padahal sebenarnya sedang meniti karier pribadi. Siapa tahu sekali waktu direkrut menjadi tim sukses calon bupati.


(2004)

Prev Next Next