Share |

Artikel 10

KEINGINAN DAN NIAT BURUK


Acep Zamzam Noor



PERTAMA-TAMA saya mengucapkan terima kasih dan pengharggaan kepada Majelis Sastra Bandung yang telah mengundang saya untuk menyampaikan orasi di tempat yang mulia ini. Meskipun orasinya dalam kontek budaya namun tema yang disodorkan ada kaitannya dengan situasi politik akhir-akhir ini. Sebenarnya saya bukanlah pengamat politik, saya juga kurang paham teori-teori politik. Saya hanyalah seorang penyair yang pekerjaan utamanya menulis puisi. Tentu saja sebagai penyair saya juga mempunyai perhatian sekaligus keprihatinan terhadap kondisi bangsa yang dari hari ke hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan, tahun ke tahun rasanya semakin tidak menentu. Dan puncak dari semua ketidakmenentuan itu adalah terkuaknya beragam kelucuan. Bukankah sesuatu yang absurd pada akhirnya selalu melahirkan kelucuan?


Dan kelucuan inilah barangkali yang tengah dipersembahkan negara untuk menghibur rakyatnya agar tetap bisa tersenyum dalam segala kesusahannya. Saya tidak akan merinci bagaimana kelucuan-kelucuan yang terjadi sejak persiapan pemilu, masa sosialisasi, berlangsungnya kampanye sampai perhitungan suara. Semua media massa, baik koran maupun televisi, sudah cukup lengkap memberitakan bagaimana peristiwa-peristiwa yang sering tak masuk akal terjadi di berbagai daerah. Sebuah kenyataan yang telah membuat para pelawak dan aktor handal negeri ini seakan mati kutu. Para pelawak dan aktor kalah jauh aktingnya dibanding para caleg yang bermain secara total-football itu. Kelompok-kelompok teater juga telah merasa kehabisan ide karena semua sandiwara, mulai dari tragedi sampai komedi, sudah dimainkan dengan sempurna oleh partai-partai peserta pemilu. Sementara para pengarang hanya manggut-manggut karena peristiwa demi peristiwa yang terjadi sudah jauh melampaui imajinasi mereka.


Berikutnya, pada kesempatan ini saya juga ingin mengucapkan selamat atas kemenangan golput di berbagai daerah, termasuk di kota Bandung ini. Dengan demikian, secara nasional kemenangan golput pada Pemilu 2009 ini hanya tinggal menunggu waktu. Sungguh saya merasa salut pada seniman-seniman seperti Tisna Sanjaya, Isa Perkasa, Rahmat Jabaril, Matdon, Deddy Koral dan lain-lain yang bukan hanya mensosialisakan “budaya” golput namun juga mengkampanyekannya secara langsung, sekalipun dalam bentuk kesenian. Seniman-seniman ini bukan hanya bergerak pada saat pemilu legislatif kali ini saja, namun sudah jauh-jauh hari semenjak dilangsungkannya pilgub dan pilwalkot, yang juga dimenangkan dengan gemilang oleh golput.


Di Tasikmalaya, daerah tempat saya tinggal dan berkiprah, alhamdulillah golput menuai hasil yang memuaskan juga. Hasil ini merupakan buah dari sebuah proses panjang dalam upaya memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Tahun 1999 saya dan teman-teman mendirikan Partai Nurul Sembako (PNS), sebuah partai yang pada awalnya merupakan grup kasidah yang biasa memusikalisasikan puisi. Sebagai partai lokal yang tugasnya meledek partai-partai lain, PNS tentu mempunyai kepengurusan yang lengkap, juga mempunyai azas yang jelas. Namun sekretariatnya selalu berpindah-pindah, dan anggotanya berganti-ganti. Sedang mottonya tetap: memenuhi kebutuhan sehari-hari.


Dalam memberikan pendidikan politik pada masyarakat, salah satunya adalah menanamkan sikap kritis terhadap keberadaan partai, baik partai lama maupun baru. Pendidikan politik ini dilakukan lewat gerakan spanduk yang dipasang di sudut-sudut kota layaknya iklan layanan masyarakat. Selain lewat spanduk, berbagai kritik atau wacana yang berkembang, termasuk anjuran untuk golput, juga disosialisasikan lewat forum-forum diskusi, pementasan kesenian maupun talkshow di radio dan televisi lokal. Saya mengamati bahwa setelah rezim Orde Lama dan Orde Baru, kini rakyat Indonesia dijajah oleh rezim Orde Partai. Partai menjadi begitu berkuasa, dan kekuasaannya yang besar tersebut tidak pernah diarahkan secara sungguh-sungguh untuk menyejahterakan rakyat. Untuk itulah mengkritisi partai dan perilaku orang-orang partai saya anggap sebagai fardu kifayah.


Namun kampanye golput yang digelar sebagai karnaval kesenian baru dilaksanakan pada Pemilu 2004, dan kemudian menjadi tradisi sampai sekarang. Bahkan tanpa ada pilkada atau pemilu pun, kalau memang lagi ingin bergembira secara spontan kami bisa menggelar karnaval kapan saja. Sebenarnya mengkampanyekan golput bentuknya bisa macam-macam, tapi yang paling mengasyikan kami ternyata lewat karnaval keliling kota. Selain menantang kreativitas para pesertanya, juga bisa menjadi semacam contoh bagi partai-partai lain bagaimana menggelar arak-arakan yang tidak membuat masyarakat ketakutan. Juga bagaimana menggelar kampanye yang menggembirakan, baik bagi yang mengikuti maupun yang menontonnya. Sejak 1999 komunitas-komunitas kesenian di Tasikamalaya memang sudah terbiasa memperingati 17 Agustus dengan menggelar karnaval keliling kota, dengan melibatkan marchingband dan pasukan berkuda. Kadang kami juga menggelar lomba karnaval antar sekolah.


Yang terlibat dalam karnaval-karnaval golput bukan hanya komunitas-komunitas kesenian saja, namun sejumlah LSM, ormas, pesantren, madrasah, sekolah serta para politisi yang sakit hati juga turut serta. Godi Suwarna dari padepokannya di Ciamis selalu mengirimkan penari-penarinya yang cantik sebagai kontingen khusus. Ahmad Syubanuddin Alwy dengan pasukannya dari Cirebon beberapa kali menyempatkan datang. Begitu juga Wawan S. Husin dari Bandung menyumbangkan aksi-aksi jeprut-nya. Komunitas waria kerap diundang juga untuk menyemarakkan suasana. Mereka semua menyanyi, berjoget dan bergembira.


Karnaval golput sebenarnya tak jauh berbeda dengan karnaval biasa, yang pada dasarnya merupakan ekspresi kegembiraan dari peserta yang mengikutinya. Hanya saja untuk karnaval golput kami membawa “muatan” yang memang harus disampaikan secara langsung kepada masyarakat. Selain diekspresikan lewat spanduk dan poster, pendidikan politik maupun pesan-pesan moral juga dimainkan dalam bentuk performance serta ekspresi-ekspresi kesenian lainnya.


***


Dalam konstitusi kita, memberikan suara dalam pemilu (juga pilkada dan pilpres) hanyalah sebatas hak, bukan merupakan kewajiban. Dan yang namanya hak bisa digunakan bisa juga tidak, tergantung situasi. Apabila semua caleg dalam pemilu (atau kandidat dalam pilkada dan pilpres) tak ada seorang pun yang bisa dipercaya, maka kita tak perlu memaksakan diri untuk memilih. Sebab jika yang kita pilih ternyata seorang koruptor tentunya kita harus ikut bertanggung-jawab juga. Kepada teman-teman saya selalu menyarankan untuk menjadikan golput sebagai gaya hidup, sebagai keasyikan dan kegembiraan dalam menjalani kehidupan, juga sebagai sikap keseharian yang dijalani dengan penuh kebanggaan. Ini semacam latihan spiritual untuk membiasakan bersikap kritis serta bertanggung-jawab. Paling tidak pada diri sendiri.


Saya percaya bahwa golput merupakan hidayah yang hanya akan hinggap pada orang-orang tertentu yang sudah tercerahkan mata batinnya. Dalam versi saya, golput sama sekali tak ada kaitannya dengan sakit hati karena gagal menjadi caleg atau ketua partai misalnya. Juga bukan disebabkan karena partai saya, Partai Nurul Sembako, tak bisa ikut pemilu. Dalam beberapa hal, saya malah yakin golput merupakan sebuah kearifan lokal. Hanya orang-orang arif yang paham bahwa memilih harus dengan kesadaran dan penuh rasa tanggung-jawab. Bukan sekedar ikut-ikutan apalagi karena dibayar. Hanya orang-orang arif yang tahu mana caleg yang bisa dipercaya mana yang tidak. Mana caleg pejuang, mana pelamar kerja dan mana penjahat.


Dan kearifan semacam ini tak ada hubungannya dengan kealiman, kekiaian atau katakanlah ketokohan seseorang. Bukankah sekarang para kiai justru sedang berlomba menjadi broker politik, bahkan tanpa merasa risih mereka menjadi jurkam calon-calon koruptor? Saya kira ada baiknya para kiai dan politisi mulai belajar mengapresiasi puisi, agar jika sekali waktu mereka ingin golput alasannya bukan disebabkan frustrasi karena partai yang didukungnya gagal ikut pemilu.


***


Apakah semua caleg yang ikut dalam pemilu kali ini benar-benar tak bisa dipercaya? Tentu saja tidak semuanya, pasti ada satu dua orang yang masih punya integritas dan niat baik. Bukankah di antara ribuan caleg terdapat sejumlah aktivis LSM, intelektual, kiai, pengusaha dan artis yang mestinya bisa diharapkan berbuat sesuatu untuk rakyat. Namun dalam sebuah bangunan sistem politik yang sudah begitu mencengkeram, segelintir yang punya niat baik tersebut menjadi tidak berarti apa-apa. Mereka akan tergerus baik sikap, mental maupun spiritualnya. Sampai sekarang saya belum mendengar ada aktivis, intelektual maupun kiai yang setelah menjadi wakil rakyat mampu memberikan pencerahan di tengah kekisruhan dunia perpolitikan kita. Alih-alih memberikan pencerahan, malah merekalah yang masuk penjara karena terjebak korupsi.


Tiba-tiba saya jadi teringat, beberapa tahun lalu World Business Enviroment Survey mengadakan survey terhadap para politisi di 81 negera, dan konon hasil survey tersebut menempatkan para politisi Indonesia berada pada rangking tertinggi dalam hal ketidakjujuran. Sedangkan menurut survey lain yang meneliti masalah intergritas dan kinerja para politisi di parlemen, para politisi Indonesia justru berada di urutan paling bawah, bahkan jauh di bawah integritas dan kinerja para pegawai kantor pos.


Saya juga teringat pada beberapa teman aktivis dan seniman yang pernah datang kepada saya untuk mendiskusikan keinginan mereka berkarier di dunia politik. Tentu saja teman-teman tersebut datangnya sendiri-sendiri, tidak bersamaan. Ketika saya tanya apa maksud dan tujuannya masuk partai, rata-rata mereka menjawab karena ingin mengadakan perubahan dan perbaikan dari dalam. “Kalau berada di luar sistem kita cuma bisa teriak-teriak saja, tak bisa berbuat apa-apa… ” kata mereka dengan penuh semangat.


“Itu niat yang baik, hanya saja yang nanti akan berubah bukan sistem atau partainya, tapi malah kamu sendiri yang berubah…” begitulah jawaban saya. Lalu saya memberi sedikit pandangan, bahwa partai bukan satu-satunya tempat untuk berjuang. Begitu juga lembaga-lembaga baru seperti KPU atau Panwaslu. Dan yang perlu diingat bahwa yang namanya politik banyak sekali macamnya, bukan hanya menjadi caleg, broker atau tim sukses. Ada yang memahami pandangan saya, ada juga yang nekad maju terus. Hasilnya ada yang terpilih dan kemudian sikapnya berubah dalam waktu singkat. Dan tidak sedikit juga yang stres karena jadi pecundang.


Lalu saya teringat pada nama-nama seperti Mulyana W. Kusuma, Nazaruddin Syamsuddin, Wijanarko Puspoyo, Said Aqil Al-Munawwar, Laksamana Sukardi, Kurdi Mukti, Yahya Zaini, Al-Amin Nur Nasution, Bulyan Royan, Hamka Yamdou, Anthony Zedra Abidin, Yusuf Emir Faisal, Emir Moeis, Abdul Hadi Jamal, Sujud Sirojuddin, Azwar Chesputra, Fahri Andi, Sarjan Tahir, Suharso Mandarfa, Malkan Amin, Rama Pratama, Jhony Allen Marbun, Enggartiasto Lukito, Johan Suharso, Endin A.J. Sufihara, Danny Setiawan, Ijudin Budhiana dan masih banyak lagi. Mereka sebelumnya adalah para aktivis yang hebat, intelektual yang cemerlang, pejabat teras, kiai kenamaan, juga santri atau ustadz yang tentu mempunyai tekad untuk mengadakan perubahan dan perbaikan dari dalam, namun kenyataannya malah berurusan dengan KPK.


Di negeri ini nampaknya intelektualitas dan religiusitas sudah menjadi persoalan lain, yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan perilaku politik seseorang. Di koran atau televisi para wakil rakyat sering tampil anggun memakai peci dan baju koko seperti sedang mengikuti pengajian. Begitu juga kalau mereka tampil sebagai terdakwa di kursi pengadilan.


***


Dari pemilu ke pemilu, sebagai penonton saya merasa takjub menyaksikan perilaku para caleg (juga anggota dewan yang sudah terpilih). Namun di antara pemilu-pemilu yang saya amati, pemilu kali ini sungguh merupakan peristiwa yang paling menakjubkan. Peristiwa yang membuat buku kuduk saya berdiri dan tubuh saya berkeringat dingin. Sebuah peristiwa teater dengan naskah tragedi sekaligus komedi yang paling spektakuler. Jika pada pemilu-pemilu sebelumnya gambar yang dipasang pada stiker, poster atau baligo adalah logo partai, pada pemilu sekarang yang terpampang langsung potret calegnya sendiri, lengkap dengan kumis atau jilbabnya masing-masing.


Sungguh sebuah pertunjukan yang memukau. Sebuah fashion show yang dilakukan secara massal. Jalan-jalan meriah dengan berbagai sepanduk dan baligo. Tulisan-tulisan lucu bahkan lugu bertebaran di mana-mana, juga pernyataan-pernyataan yang memuji diri sendiri sebagai caleg yang layak dipilih. Ya, namanya juga kampanye, tentu saja mereka akan melupakan rasa risih atau malu yang kemungkinan akan muncul di kemudian hari. Potret para tokoh kenamaan pun disandingkan untuk menambah kharisma sang caleg, seolah antar mereka sudah demikian akrab. Bahkan nama leluhur atau orangtua juga di sebut-sebut. Sebuah paradoks, di satu sisi mereka narsis namun di sisi lain nampak kurang percaya diri.


Saya kemudian membayangkan jika mereka tidak terpilih pasti tekanan mentalnya akan jauh lebih berat dibanding pemilu-pemilu sebelumnya. Antisipasi pihak kepolisian, dinas kesehatan dan rumah sakit jiwa untuk menangani korban pemilu bukan sesuatu yang berlebihan. Sebuah antisipasi yang wajar dan memang sudah semestinya dilakukan. Namun ada yang menarik untuk dicatat dari pemilu dengan aturan baru ini, yakni menurunnya fanatisme yang berlebihan terhadap partai. Tak banyak lagi orang yang memperlakukan partai seperti layaknya agama seperti pada pemilu-pemilu sebelumnya. Dan di luar para caleg dan keluarganya yang harap-harap cemas, masyarakat pada umumnya santai menikmati lelucon-lelucon politik yang tayangkan televisi. Masyarakat sepertinya terhibur menyaksikan kelucuan demi kelucuan.


Kalau dipikir-pikir sebenarnya wajar jika para penganggur ingin punya pekerjaan, wajar juga jika yang sudah punya pekerjaan ingin menambah penghasilannya atau yang sudah kaya ingin melipatgandakan kekayaannya. Dan selama ini para wakil rakyat kita di DPR sudah menunjukan contoh dengan gamblang: bagaimana caranya mencapai kesejahteraan atau mengumpulkan kekayaan dalam waktu singkat. Maka wajar pula jika kemudian masyarakat banyak tergiur ingin mengikuti jejak para wakil rakyat tersebut. Mereka yang merasa dirinya tokoh atau bekas tokoh ramai-ramai mendirikan partai, dan masyarakat menyambutnya dengan antusias sebagai lapangan pekerjaan baru. Ibu-ibu, janda-janda atau gadis-gadis belia yang mungkin sebelumnya tidak pernah bersentuhan dengan politik atau organisasi, juga ikut-ikutan menjadi caleg. Di poster dan baligo yang berukuran besar mereka berpose habis-habisan, sambil membayangkan dirinya sebagai bintang iklan terkenal.


Dari berbagai kenyataan tersebut di atas saya menyimpulkan bahwa modal para caleg untuk terjun ke dunia politik kebanyakan hanya dua hal. Pertama keinginan, dan kedua niat buruk. Keinginan karena mereka tergiur melihat para wakil rakyat, yang dalam waktu singkat bisa meningkatkan kesejahteraan hidupnya secara fantastis. Atau bagi yang sudah kaya tergiur karena ingin melipatgandakan kekayaannya lewat jalur kekuasaan. Tentu mereka juga paham dan maklum mengenai apa-apa yang harus dipersiapkan dan dilakukan agar bisa terpilih. Mereka juga belajar strategi bagaimana memenangkan sebuah pertarungan dengan menghalalkan semua cara.


Lalu yang kedua, yang tadi saya sebut niat buruk adalah rencana yang akan mereka lakukan seandainya terpilih nanti. Rencana ini sudah dipikirkan jauh-jauh hari, terutama dalam kaitan bagaimana mengembalikan uang yang sudah terlanjur dikeluarkan. Uang tersebut bukan hanya harus kembali secara utuh, tapi harus menjadi semakin banyak. Selain sebagai keuntungan atau laba, juga sebagai amunisi untuk persiapan mengikuti pemilu berikutnya. Lalu dari mana sumbernya? Kalau mengandalkan gaji resmi tentu tidak akan mencukupi, maka pintar-pintarlah mereka mencari sumber yang tidak resmi.


Saya jadi tidak bisa membayangkan bagaimana sebuah negara yang permasalahannya begitu komplek ditangani mereka yang modal politiknya hanya dua hal, yakni keinginan dan niat buruk. Saya juga tidak bisa membayangkan bagaimana sebuah negara yang sedang terpuruk seperti Indonesia harus dikelola oleh para pencari kerja yang niatnya ingin mengumpulkan harta. Dan kebanyakan dari para pencari kerja tersebut tidak pernah mengukur sejauh mana pengalaman, kemampuan, kesungguhan serta ketulusan dirinya dalam memperjuangkan hak-hak rakyat yang akan diwakilinya nanti. Mereka juga tidak mempertimbangkan sejauh mana kafasitas dan integritas dirinya sebagai politisi. Yang penting terpilih. Titik.


Jika di masa lalu korupsi merupakan godaan atau cobaan bagi seseorang yang menduduki jabatan tertentu, sekarang korupsi sudah menjadi cita-cita. Sudah menjadi sesuatu yang direncanakan sejak awal. Kenapa demikian? Karena di negera kita politik tidak diperlakukan lagi sebagai ilmu pengetahuan yang di dalamnya terdapat nilai perjuangan, moral, etika dan estetika. Politik hanya dipahami tak lebih dari sekedar akal bulus, stretegi atau hobi saja. Bagaimana caranya menang, bagaimana caranya terpilih, bagaimana caranya bertahan selama mungkin. Rasanya wajar jika kemudian kita menyaksikan mereka satu persatu ditangkap KPK, meskipun yang tertangkap hanya yang kebetulan ketiban sial saja. Yang tidak atau belum ketiban sial tentu masih banyak lagi jumlahnya.


Namun bagaimana pun menjadi caleg atau wakil rakyat sudah terlanjur menggiurkan. Sudah terlanjur memabukkan. Sudah terlanjur menjadi cita-cita tertinggi sebagian masyarakat kita. Dengan demikian posisi wakil rakyat sudah tidak ada bedanya lagi dengan narkoba, sekali mencoba akan langsung ketagihan dan sulit berhenti. Seorang caleg yang kalah pasti penasaran ingin mencoba dan mencobanya lagi. Apalagi jika caleg tersebut terpilih, pasti ketagihan untuk mengulang dan mengulangnya lagi.


Saya jadi teringat pada seorang tokoh dari Garut, yang sebagian besar hidupnya telah diabdikan secara total sebagai wakil rakyat. Rupanya pengabdian yang sangat “menyenangkan” ini telah menular pada keluarga besarnya sehingga pada pemilu kali ini hampir semua saudara dan kerabatnya terjun menjadi caleg dari partai yang berbeda-beda. Saya juga teringat pada tokoh lain dari Bandung, yang juga telah menghabiskan lebih dari separuh jumlah usianya sebagai wakil rakyat dari PPP. Kedua tokoh ini hanyalah contoh kecil saja, masih banyak politisi senior lain baik dari PPP, Golkar, PDIP maupun kutu loncat yang juga maniak menjadi wakil rakyat.


Seperti halnya caleg konon tim sukses juga mengandung zat adiktif, yang bisa membuat siapapun yang mencobanya akan ketagihan dan sulit untuk berhenti. Seorang tim sukses yang jagoannya kalah dalam pilpres misalnya, pasti akan mengulanginya pada pilgub, pilbup, pilwalkot dan seterusnya. Dan jika di daerah sekitarnya lama tidak ada pilkada mereka akan gelisah dan sakaw sendiri, lalu mencari-cari pilkada sampai ke daerah lain. Kalau ternyata tidak ada juga, maka menjadi tim sukses pilkades pun akan dilakoninya dengan gembira.


Tanpa bermaksud menyindir siapapun, izinkan saya mengutip sebuah lirik lagu yang biasa dipakai pengiring senam ibu-ibu di lapang Dadaha. Sebagai orang Sunda saya tidak mengerti apa makna lirik lagu ini, namun entah kenapa saya selalu merasa tercerahkan setiap mendengarnya:


Kelakuan si kucing garong

Ora tenan ndeleng sing resnong

Main sikat main embat

Apa sing liwat


Kelakuan si kucing garong

Selalu ngulati sasaran

Asal ndeleng pepesan

Wajah bringasan


Itu contone wong lanang

Sisipatne kayak kucing garong

Awas kudu ngati-ati

Yen kucing garong lagi beraksi


Sing dadi modal andalan

Kucing ngebengi duit atusan

Yen teu kuat nahan iman

Bisa-bisa dadi berantakan


***


Jika dilihat dari permukaan negara kita sebenarnya sudah sangat demokratis. Berbagai perangkat demokrasi sudah tersedia, yang mungkin belum semuanya dipunyai negara-negara tetangga yang lain. DPR, MPR, DPA, Mahkamah Agung sudah ada sejak lama, lalu sekarang ditambah lagi dengan DPD, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, KPK, Komnas HAM, KPU, Panwaslu dan sebagainya. Begitu juga pilkada dan pilpres yang dilaksanakan secara langsung, sungguh lompatan demokrasi yang luar biasa. Lalu kurang apa lagi? Dana yang dibutuhkan untuk menggerakkan perangkat-perangkat tersebut tentu sangat besar. Begitu juga dana yang akan diserap oleh tahapan-tahapan pemilu, pilkada dan pilpres yang panjang dan berliku. Dan sebesar apapun dana yang dibutuhkan sepertinya akan terus digelontorkan demi berlangsungnya demokrasi di negeri ini. Namun ada satu hal yang mungkin kita lupakan, bahwa selengkap dan secanggih apapun perangkat demokrasi yang kita miliki, jika yang menjalankannya bukan orang-orang yang demokratis atau yang mentalnya masih feodal dan korup, maka hasilnya akan sia-sia. Demokrasi akan menjadi sekedar kamuflase.


Rasanya saya sudah cukup lama berbicara dan tenggorokan sudah mulai kering. Di akhir pembicaraan sekali lagi saya ingin menyinggung soal golput. Dalam pemahaman saya golput bukanlah pembangkangan terhadap negara, namun sebuah pendidikan politik yang bertujuan memperbaiki kekurangan-kekurangan yang ada. Atau katakanlah sebuah perlawanan yang paling halus dari rakyat terhadap perilaku para politisi yang penuh akal bulus. Tentu saja pendidikan politik jenis ini membutuhkan waktu dan proses yang panjang karena hasilnya sangat tergantung pada perkembangan mental setiap orang, termasuk mental para politisi itu sendiri.


Bagi rakyat sudah jelas bahwa memberikan suara dalam pemilu, pilkada atau pilpres bukanlah merupakan kewajiban. Sementara tanpa dukungan dan suara rakyat, partai beserta para calegnya, juga para kandidat pilkada dan pilpres menjadi bukan apa-apa. Bukan siapa-siapa. Inilah yang harus direnungkan bersama. Rakyat tak bisa terus menerus diminta suaranya untuk kemudian dikhianatinya. Kini biaya demokrasi sudah terlalu mahal dan semakin tidak masuk akal. Rakyat juga semakin lelah dan muak.


Sekarang izinkan saya mengakhiri orasi ini dengan sebuah solusi sederhana. Saya mengusulkan kepada pemerintah bagaimana kalau pada pemilu yang akan datang tidak lagi ditangani KPU, yang sudah terbukti boros dan kurang profesional. Yang menangani pemilu cukup Depnaker saja. Bukankah mayoritas yang mendaftar menjadi caleg juga adalah mereka yang mencari pekerjaan? Kalau seandainya Depnaker perlu bantuan paska penghitungan suara, terutama dalam menangani caleg-celeg yang stres, Depkes bisa dilibatkan. Lalu kalau terjadi perselisihan antar caleg atau partai, bisa langsung ditangani kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Bukankah itu sudah tugas mereka? Saya pikir dengan cara ini negara akan jauh lebih berhemat. Terima kasih.


(2009)

Prev Next Next