Share |

Artikel 7

SEJARAH DAN REKONSILIASI KULTURAL


Acep Zamzam Noor



SAYA masih ingat waktu itu sekitar tahun 2001, beberapa orang bertamu ke rumah saya, di antaranya ada yang sudah terbilang tua namun kelihatan sehat dan masih penuh semangat. Dia mengenalkan diri sebagai Suparman, mengaku eks Tapol dan sahabat dari pelukis Tatang Ganar. Kemudian bercerita bahwa ketika masih menjadi wartawan ia juga cukup dekat dengan But Mochtar, Barli Sasmitawinata, Hendra Gunawan, Ramadhan K.H. dan bahkan Pramoedya Ananta Toer. Saya sempat terkesima karena nama-nama yang disebutkannya itu bukan hanya saya kenal namun juga sangat saya hormati, bahkan ada di antaranya yang merupakan dosen saya sewaktu masih kuliah di Seni Rupa ITB. “Tatang Ganar yang menyarankan kepada saya untuk menemui Pak Acep di Cipasung,” katanya. Ya, saya memang kenal baik dengan Tatang Ganar dan bahkan pernah beberapa kali berpameran bersama. “Saya sudah cukup lama tinggal di Tasikmalaya namun baru bisa bersilaturahmi sekarang,” katanya lagi. Waktu itu saya menjadi pendengar yang baik ketika ia bercerita tentang masa lalunya bergaul dengan para seniman dan budayawan di Bandung. Begitu juga ketika mewartakan suka dukanya merintis pendirian lembaga pendidikan komputer di Tasikmalaya.


Kedatangan tamu eks Tapol bukanlah sesuatu yang luar biasa. Rumah saya sangat terbuka untuk siapa saja yang mau datang. Apalagi waktu itu saya sedang aktif-aktifnya menggelar program “Pengajian Budaya”, yakni sebuah kegiatan apresiasi kesenian dan budaya yang secara berkala digelar di halaman rumah saya, di lingkungan Pondok Pesantren Cipasung. Dalam setiap undangan atau poster saya selalu menyebutkan bahwa kegiatan tersebut terbuka untuk umum tanpa membedakan unsur suku, agama, ras, ormas dan partai yang disingkat menjadi SAROP, sebuah plesetan dari SARA. Istilah ini saya sosialisasikan untuk mencairkan ketegangan yang terjadi di tengah masyarakat. Diberlakukannya multi partai setelah kejatuhan Soeharto tak bisa dipungkiri telah menghadirkan banyak masalah baru, salah satunya sikap saling curiga antar pendukung partai. Di daerah hal semacam ini bisa menjadi serius karena fanatisme terhadap ormas atau partai kadang rancu dengan fanatisme terhadap agama, bahkan tidak sedikit yang menganggap ormas atau partai itu agama. Dengan cara bermain-main saya mengkritik sikap mereka. Makanya rumah saya terbuka bukan hanya bagi yang berbeda suku, agama, ras, ormas dan partai, tapi juga eks Tapol seperti Pak Suparman.


Sebagai orang yang dilahirkan di kalangan pesantren tentu saja saya mendengar adanya peristiwa G-30S/PKI. Bahkan saya juga mendengar cerita yang seram-seram di sekitar peristiwa itu, misalnya cerita tentang ayah dan kakek saya yang akan dibunuh dan bahkan lobang kuburnya sudah disediakan oleh PKI di daerah Cimerah. Ketika peristiwa G-30S/PKI terjadi saya memang masih sangat kecil, jadi belum mengerti apa-apa. Namun saya sempat merasakan atmosfirnya waktu itu, bagaimana kesibukan para santri di pesantren kami berlatih silat dan tenaga dalam setiap malam. Bahkan seminggu sekali, kalau tak salah setiap malam Jum’at, sejumlah kiai dan pendekar dari pesantren-pesantren sekitar Tasikmalaya berlatih silat bersama-sama, bahkan dengan demo menggunakan golok segala. Saya masih ingat tempatnya di madrasah, di samping rumah orangtua saya. Ya, memang saya belum mengerti apa-apa waktu itu, hanya merasakan seperti ada kesibukan, seperti ada kerepotan dan seperti ada ketegangan. Belakangan saya juga tahu bahwa kegiatan berlatih silat dan tenaga dalam bukan hanya di pesantren kami saja, tapi juga di pesantren-pesantren yang lain. Katanya mereka berlatih silat untuk menjaga dan mempertahankan diri dari serangan musuh.


Seiring dengan bergulirnya waktu, cerita-cerita seram tentang ancaman terhadap sejumlah kiai (termasuk ayah dan kakek saya) terlupakan dengan sendirinya. Begitu juga ingatan saya tentang kesibukan para santri berlatih silat dan tenaga dalam di pesantren dulu. Tanpa terasa waktu begitu cepat berlalu, peristiwa demi peristiwa silih berganti hingga tiba masanya saya kuliah. Di kampus saya kebetulan mengenal sejumlah mahasiswa, yang kemudian saya ketahui berasal dari keluarga eks Tapol. Saya tidak melihat hal yang aneh-aneh dari mereka, semuanya normal-normal saja. Bahkan saya bersahabat cukup baik dengan mereka. Ketika menerjuni dunia kesenian saya bergaul akrab dengan banyak seniman, termasuk juga para seniman eks Tapol. Dan lagi-lagi saya tidak merasakan hal yang aneh-aneh. Bahkan ada beberapa yang sikapnya sangat mengasyikan hingga saya merasa banyak belajar.


Tahun-tahun belakangan kebetulan saya beberapa kali diundang untuk mengikuti workshop dalam rangka rekonsiliasi antara eks Tapol dengan kalangan agama (khususnya pesantren dan gereja). Dari pertemuan-pertemuan itu sedikitnya saya mengerti bahwa pandangan mereka terhadap rekonsiliasi ternyata berbeda-beda. Paling tidak dalam hal ini saya melihat ada dua jenis pandangan. Mereka yang berlatar belakang seniman atau budayawan sepertinya lebih santai sikapnya. Meskipun awalnya sangat berat namun mereka berhasil menyesuaikan diri, terlibat dalam kehidupan sosial dan kemasyarakatan. Beberapa eks Tapol dari Banyuwangi yang berprofesi sebagai pemusik misalnya, mereka tidak canggung bekerjasama dengan Pemda untuk memajukan dunia kesenian di daerahnya. Mereka juga banyak diminta bantuan sesuai dengan keahliannya. Begitu juga dengan para pelukis yang terjun langsung ke masyarakat lewat karya-karyanya. Mereka aktif berpameran bersama pelukis-pelukis profesional lain, bahkan tidak sedikit di antara mereka yang kemudian menjadi terkenal dan kaya raya. Lewat bahasa kesenian atau budaya mereka telah melakukan rekonsiliasi secara alamiah, tidak formal dan berlangsung begitu saja.


Sementara ada juga yang sikapnya kurang santai dan bahkan ngotot, terutama dari mereka yang dulunya aktivis partai atau yang terlibat langsung dengan politik praktis. Rekonsiliasi bagi eks Tapol jenis ini sangat jelas targetnya: merebut kembali hak yang telah dirampas. Makanya selain menuntut penyelesaian secara politik maupun hukum, mereka juga menuntut permintaan maaf, pemulihan nama baik, pengembalian hak-hak politik dan sipil serta uang ganti rugi yang tidak sedikit. Kaget juga menyaksikan bagaimana cara mereka berbicara dan berdebat, meski sudah berusia lanjut namun semangat mereka begitu menggebu-gebu, disertai mata nyalang dan telunjuk yang mengacung. “Interupsi saudara ketua…” kalimat seperti itu sering terlontar dalam setiap diskusi, yang maksudnya mungkin begini: “Maaf moderator…”.


Sebenarnya saya kurang tertarik dan bahkan sedikit “alergi” pada dunia politik. Saya memandang peristiwa G 30S/PKI sebagai sejarah tragedi kemanusiaan yang disebabkan oleh perilaku politik di masa lalu. Saya percaya bahwa tidak semua korban dari peristiwa dahsyat itu adalah para pemain politik atau mereka yang memang hidup dan berkarir di partai, bahkan banyak di antaranya yang tidak mengerti apa-apa. Saya juga percaya bahwa lawan dari mereka yang menjadi korban tidak semuanya politisi, bahkan banyak yang juga tidak paham politik sama sekali. Tentu hal seperti ini bukanlah sesuatu yang aneh karena sekarang juga berlaku demikian. Yang namanya dunia politik sampai kapan pun rasanya akan sama saja. Sama-sama licik, penuh intrik, menghalalkan segala cara dan tidak memakai perasaan. Apapun partainya, siapapun rezimnya di mata saya sama saja.


Sewaktu workshop bersama para eks Tapol yang diselenggarakan di Batu, Malang, saya menawarkan konsep rekonsiliasi kultural. Konsep ini sebenarnya telah dilakukan dengan sangat baik oleh beberapa eks Tapol yang berlatar belakang seniman atau budayawan. Mereka berkiprah di tengah masyarakat dengan memakai bahasa budaya hingga tidak terlalu mengundang banyak stigma. Mereka masuk lewat karya serta perbuatan nyata. Meskipun demikian saya juga tetap menghargai upaya-upaya yang terus dilakukan untuk menempuh penyelesaian secara politik maupun hukum. Hanya saja cara ini mungkin akan sangat melelahkan dan bahkan bisa jadi melahirkan dendam turunan, di samping terus berbenturan dengan kelompok politik atau kalangan agama yang pernah menjadi lawannya dulu. Sementara jatah hidup manusia di dunia ini sangatlah terbatas, tak banyak waktu untuk memulihkan kembali hubungan antar sesama, tak banyak waktu untuk melakukan rekonsiliasi bersama.


****


Membaca otobiografi H. Suparman yang berjudul Dari Pulau Buru Sampai Ke Mekkah saya seperti menemukan sebuah penegasan tentang rekonsiliasi kultural. Apa yang telah dilakukan mantan wartawan dan pemimpin umum Warta Bandung ini adalah rekonsiliasi yang saya maksudkan itu: rekonsiliasi yang tidak formal, rekonsiliasi yang dilakukan secara individual, rekonsiliasi yang diniatkan untuk memberi dan bukan menuntut. Pak Suparman nampaknya seorang yang sangat realistis (hal ini tergambar dalam banyak cerita baik ketika ditahan di Bandung, Nusakambang maupun Pulau Buru), dan ia bertekad menggunakan sisa hidupnya agar berguna untuk kepentingan orang banyak. Bisa dimaklumi jika kemudian ia memilih bidang pendidikan, selain karena sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya, juga merupakan pintu masuk yang strategis untuk turut berkiprah di tengah masyarakat. Memang tidak semudah membalik telapak tangan, sebab ia harus mengalami jatuh bangun. Juga harus menghadapi banyak gangguan, baik dari aparat maupun masyarakat. Namun pengalamannya selama 18 tahun dalam pengasingan membuatnya tidak mudah patah arang.


Sebagai orang yang pernah didzolimi selama belasan tahun tanpa pengadilan tentu sangat manusiawi kalau ia juga mempunyai dendam, namun yang menarik Pak Suparman tidak memelihara perasaan sentimentil tersebut. Memelihara apalagi mengembangkan perasaan dendam baginya bukan hanya tidak realistis, tapi juga tidak produktif dan hanya akan buang-buang waktu saja. Sisa usianya yang terbatas akan cepat berlalu tanpa sempat berbuat sesuatu. Mungkin ia tidak melupakan semua pengalaman buruk yang dialaminya, namun ia berhasil menariknya pada sesuatu yang positif dan produktif: membuktikan diri sebagai orang yang masih berguna bagi bangsa dan negara.


Kalau saya boleh mengapresiasi, modal utama Pak Suparman adalah silaturahmi. Ya, dengan penuh kesadaran ia memilih silaturahmi sebagai bahasa budaya, bahasa yang bisa dipahami dan diterima semua kalangan. Diceritakan dengan sangat mengharukan dalam buku ini, bahwa yang pertama-tama dilakukan setelah pembebasan adalah mengunjungi teman-teman lamanya sesama wartawan (termasuk yang dulunya berseberangan), juga teman-teman seniman dan budayawan. Kemudian ia bergaul dan menjalin persahabatan dengan banyak orang. Dari silaturahmi dan persahabatan tersebut pekerjaan-pekerjaan kecil ia dapatkan meski secara serabutan, namun proses ini terus bergulir bersama waktu hingga sebuah lembaga pendidikan komputer berhasil didirikannya. Lembaga ini berkembang dengan pesat, mahasiswanya bukan hanya berasal dari Tasikmalaya dan sekitarnya saja, namun juga dari Sumatera dan Kalimantan.


Lewat silaturahmi pula saya berkenalan dengan Pak Suparman, yang kemudian berlanjut menjadi semacam persahabatan. Saya sering mengundangnya datang ke acara-acara yang saya selenggarakan baik di Cipasung maupun di Gedung Kesenian Tasikmalaya, dan ia selalu menyempatkan datang bersama para mahasiswanya. Sebaliknya beberapa teman seniman sering diminta melatih kelompok teater atau menjadi juri perlombaan di kampusnya. Acara-acara kesenian, baik pementasan, perlombaan maupun sarasehan, memang kerap digelar di kampus komputernya yang cukup dikenal itu.


Saya merasa tertarik menulis catatan ini bukan karena merasa iba pada pengalamannya yang dramatik, tapi terutama pada sikap hidupnya yang unik selama menjalani pembuangan, yang menurut saya sangat berharga untuk diteladani oleh siapapun dan dari kalangan manapun. Bisa dibaca dalam banyak bagian di buku ini, bagaimana ia berdeda sikap dan pandangan dengan tahanan-tahanan lain, mulai dari soal-soal kecil seperti pembagian ransum, bekal yang harus dibawa ke pengasingan sampai pentingnya ilmu katon. Ia juga mempunyai pendapat lain ketika muncul ide memberontak dari sementara tahanan, begitu juga ketika menanggapi isu pembebasan yang dihembuskan pemerintah. Sikap hidup yang unik ini kemudian diamalkannya juga setelah menghirup udara bebas: ia tidak memelihara apalagi mengembangkan dendam. Menurut saya, inilah salah satu hikmah yang bisa dipetik dari buku ini. Selain itu cara Pak Suparman menuliskannya juga sangat memikat dan menyentuh, seperti sebuah novel. Saya kira memoar yang ditulisnya dengan puitis ini juga mengandung bobot sastra.


(2006)

Prev Next Next