SASTRA DAN NEGARA:
PENGALAMAN TASIKMALAYA
Acep Zamzam Noor
LAHIRNYA Indonesia sebagai bangsa tak bisa dilepaskan dari karya sastra, khususnya puisi. Pada tanggal 28 Oktober 1928 sejumlah anak muda yang mempunyai naluri kepenyairan berkumpul dan secara kolektif berimajinasi tentang sebuah bangsa. Secara kolektif pula mereka menulis sebuah puisi yang indah, yang sekarang kita kenal sebagai “Sumpah Pemuda”. Sebuah puisi yang mengimajinasikan sesuatu yang waktu itu belum ada, bahkan mungkin belum terbayangkan di pikiran banyak orang: bangsa, tanah air dan bahasa. Sutardji Calzoum Bachri pernah menyebut “Sumpah Pemuda” sebagai puisi besar yang dihasilkan anak-anak muda zaman dulu. Selain karena memenuhi kaidah untuk disebut puisi, di mana unsur-unsur puisi terdapat di dalamnya, isinya pun sangat imajinatif bahkan futuristik. Mengungkapkan sesuatu yang secara realitas belum ada. Sesuatu yang masih berupa utopia.
Meski para pemuda yang penuh imajinasi itu selanjutnya tidak dikenal sebagai penyair, namun sejarah mencatat bahwa kreativitas yang mereka ciptakan telah meletakkan pondasi bagi kemungkinan lahirnya sebuah bangsa, terutama dengan diikrarkannya bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi. Melalui tangan para penyair setahap demi setahap bahasa Indonesia menemukan bentuknya, melalui tangan para penyair pula bahasa ini membangun kewibawaannya sebagai alat pemersatu bangsa. Puisi-puisi yang membangkitkan kesadaran serta kecintaan terhadap tanah air tak henti-hentinya ditulis para penyair, dari generasi ke generasi. Bahasa yang sebelumnya hanya lingua franca pun menjadi semakin diperkaya.
Sutan Takdir Alisjahbana, Muhammad Yamin, Sanusi Pane, Rustam Effendi, J.E. Tatengkeng serta Amir Hamzah dengan puisi-puisinya yang romantik telah mengawal arah serta spirit perjalanan panjang bangsa ini. Kemudian disambung Chairil Anwar, Asrul Sani, Sitor Situmorang, Trisno Sumardjo, Mansyur Samin, Hartojo Andangdjaja, Kirdjomuljo, Subagio Satrowardojo, Ramadhan K.H., Rendra, Ajip Rosidi, Toto Sudarto Bachtiar sampai Taufiq Ismail yang dengan caranya masing-masing telah ikut pula mengisi, mewarnai dan memaknai perjuangan dengan puisi-puisinya.
Pada masa-masa itu koran atau majalah yang menyediakan rubrik sastra tentu belum seperti sekarang, begitu juga dengan penerbitan buku. Namun pada masa-masa itu karya sastra justru banyak dibaca orang, terutama oleh kalangan terpelajar.
***
Taufiq Ismail pernah mengadakan penelitian mengenai pengajaran sastra bagi siswa sekolah menengah di sejumlah negara. Konon setelah kemerdekaan berjalan, lebih-lebih setelah Orde Baru, para siswa di Indonesia tidak lagi mempunyai kewajiban membaca buku sastra, padahal di sejumlah negara setiap siswa diwajibkan membaca antara 5 sampai 32 buku setiap tahunnya. Sementara sekolah menengah pada zaman kolonial mewajibkan para siswa membaca minimal 25 buku, di samping kewajiban mengarang tentunya. Dengan data tersebut wajar jika kebanyakan pejabat dan politisi kita sekarang tidak suka membaca karya sastra. Apalagi mengapresiasinya dengan sungguh-sungguh. Wajar pula jika kemudian kita sangat sulit menemukan pejabat, politisi atau siapapun yang mempunyai kepekaan terhadap kondisi yang tengah dihadapi bangsa ini.
Namun sastra hidup juga di luar sekolah. Meskipun tanpa diajarkan secara sungguh-sungguh toh puisi masih terus ditulis orang. Buku-buku puisi pun masih terus diterbitkan dengan berbagai cara. Kehidupan sastra masih berjalan meskipun rasanya semakin ekslusif. Hanya para penyair dan peminat puisi (umumnya calon-calon penyair juga) yang masih setia membaca dan mengapresiasi puisi. Sementara kaum terpelajar, lebih-lebih para pejabat dan politisi, nampaknya sudah tidak punya waktu dan kepedulian lagi. Dengan demikian sumbangan pemikiran, renungan, ekspresi keindahan maupun sikap kritis para penyair mengenai kondisi bangsa ini efeknya semakin kecil saja. Bahkan seperti angin lalu.
Gambaran di atas nampak sekali jika kita mengamati bagaimana para pejabat dan politisi berbahasa di televisi. Pidato-pidato yang diucapkan mereka terkesan datar, standar dan cenderung formal, baik dari sisi keindahan bahasa maupun kedalaman makna. Bandingkan misalnya dengan para pemimpin kita dulu yang pernah mengenyam pelajaran sastra secara sungguh-sungguh di sekolahnya. Pidato-pidato yang disampaikan baik oleh Bung Karno, Bung Hatta, Sjahril, Bung Tomo, Natsir maupun Hamka bukan hanya hidup dan indah namun sangat dalam maknanya, yang membuat bulu kuduk siapapun akan merinding mendengarnya. Begitu juga dengan generasi yang berada satu lapis di bawahnya. Kata-kata yang diucapkan merupakan kata-kata yang telah mereka pahami, mereka hayati dan mereka jalani. Kata-kata yang keluar dari hati, penuh impresi dan imajinasi. Bukan seperti busa diterjen yang meluap di kamar mandi.
Belakangan kita menyaksikan sejumlah politisi muda mengutip teks sastra pada saat kampanye pemilu. Kutipan-kutipan tersebut ditayangkan televisi serta dipasang pada baligo-baligo ukuran besar. Namun entah kenapa sepertinya tak ada keselarasan antara teks (yang maunya bernilai sastra) dengan citra yang melekat pada pribadi mereka sebagai politisi masa kini. Kata-kata yang mereka ucapkan menjadi tidak maching dengan gerak bibirnya, dengan ekspresi wajahnya, dengan sorot matanya, dengan gestur tubuhnya, apalagi dengan suasana hatinya. Kata-kata yang mereka ucapkan sepertinya asing bagi kehidupan mereka sendiri. Kata-kata yang mereka ucapkan sepertinya belum benar-benar dipahami, benar-benar dihayati, apalagi dijalani.
***
Sanggar Sastra Tasik (SST) terbentuk setelah teman-teman yang menyukai sastra, khususnya puisi, berinteraksi satu sama lain. Awalnya mereka bertandang ke rumah saya, lalu kongkow-kongkow sambil minum teh poci di sebuah toserba yang ada kafetarianya, lalu minum kopi bareng di warung-warung pinggir jalan, atau di mana saja. Sebelum SST terbentuk, komunitas teater dan seni rupa telah hadir terlebih dahulu. Mereka bermarkas di Gelanggang Generasi Muda (GGM) yang berlokasi di kawasan Dadaha. Di GGM teman-teman teater berinteraksi dengan pramuka, paskibra, ormas kepemudaan serta sejumlah klub beladiri yang juga poskonya di situ. Sementara teman-teman seni rupa menggunakan gedung yang bentuknya mirip GOR itu kalau berpameran saja.
Dadaha merupakan ruang publik tempat masyarakat
Yang pertama bergabung dengan SST adalah teman-teman teater dan seni rupa, lalu sejumlah siswa SMA masuk, lalu mahasiswa, dosen, guru, ibu rumah tangga, pemusik, penganggur, pedagang kakilima, kepala desa serta penarik becak. RSPD FM meminta bantuan kami untuk mengasuh siaran sastra setiap Jum’at malam, selama dua jam penuh. Lalu kami menjadikan radio tersebut sebagai satu-satunya media publikasi bagi karya teman-teman. Itulah pengalaman untuk pertama kalinya kami berhubungan dengan negara, dalam konteks kegiatan apresiasi sastra tentunya.
Di acara yang kemudian dikenal sebagai Cakrawala Sastra Kita atau CS Kita, selain membaca dan membahas puisi, kadang diseling dengan talkshow budaya, sosial, agama dan sekali-kali politik. Kami tidak segan mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan rakyat lewat radio ini. Aceng Hidayat dan Nazarudin Azhar yang mengasuh acara ini kemudian ditawari menjadi tenaga kontrak. Aceng kini sudah tidak aktif lagi karena sejak dua tahun lalu diangkat menjadi PNS setelah mengabdi sebagai penyiar lebih dari 15 tahun.
***
Kreativitas membutuhkan sebuah pemicu. Banyak sekali cara yang bisa dan biasa dilakukan untuk memicu kreativitas, dari mulai yang serius, umum dan bahkan nyleneh. Kita mengenal bentuk-bentuk kegiatan seperti apresiasi sastra, diskusi sastra, sarasehan sastra, seminar sastra, bengkel atau workshop sastra. Di lain pihak ada juga pembacaan puisi serta dramatisasi puisi. Bentuk-bentuk kegiatan seperti ini selain untuk memasyarakatkan atau menggairahkan kehidupan sastra, pada batas-batas tertentu juga untuk memicu kreativitas. Paling tidak sebagai sarana aktualisasi diri para praktisinya.
SST dalam satu dekade terakhir ini sudah melakukan berbagai cara dalam upaya mengenalkan dan memasyarakatkan sastra. Selain kegiatan-kegiatan seperti yang disebut di atas, juga banyak kegiatan-kegiatan lain yang mungkin tidak biasa, main-main dan terkesan seenaknya. Awal tahun 1998 misalnya, di tengah krisis ekonomi dan kepanikan rezim Orde Baru sejumlah penyair yang didukung para mahasiswa mendatangi gedung DPRD Tasikmalaya dengan menggotong sebuah lukisan berukuran besar. Mungkin karena dianggap mau demonstrasi, rombongan penyair itu diterima secara resmi oleh ketua DPRD beserta jajaran fraksi dan komisinya. Bahkan sekda juga hadir mewakili bupati waktu itu.
Tapi rupanya para politisi kecele. Rombongan penyair sama sekali tidak bermaksud demonstrasi atau menyampaikan aspirasi seperti halnya para aktivis, namun hanya ingin “menyatakan cinta” secara langsung dan terbuka kepada salah seorang anggota dewan termuda, Nur Islami Dini (19 tahun) yang waktu itu masih lajang dan rupawan. Eriyandi Budiman, salah seorang anggota SST, memang jatuh cinta (dalam arti yang sebenarnya) pada politisi muda itu dan menulis banyak sekali puisi cinta untuknya. Setelah menyampaikan maksud kedatangan yang ditandai dengan penyerahan lukisan potret sang gadis kepada ketua DPRD, sejumlah puisi cinta karya Eriyandi Budiman dibagikan dan kemudian dibaca secara bergiliran.
Bukan hanya para penyair yang membaca puisi tapi juga ketua DPRD beserta jajarannya, termasuk dari Fraksi ABRI. Bisa dibayangkan, bagaimana seorang pensiunan tentara yang berkumis tebal membacakan puisi cinta. Begitu juga seorang kiai dari PPP membacakan puisi patah hati. Pertemuan kemudian berlanjut dengan diskusi yang penuh gelak tawa. Lucunya Eriyandi sendiri tidak ikut dalam “unjuk perasaan” ini, ia malah meriang panas dingin menunggu sendirian di sanggar. Begitu juga Nur Islami Dini, menghilang entah ke mana.
Masih dalam hubungannya dengan DPRD, tahun 2001 buku saya Dongeng Dari Negeri Sembako yang berisi kritik-kritik nyleneh bagi para politisi, juga diluncurkan di gedung DPRD Tasikmalaya dengan mengambil ruang sidang utama. Buku tersebut dibacakan beramai-ramai oleh para penyair, mahasiswa sampai tukang becak. Juga digelar performance art oleh para penggiat teater, yang dengan merdeka menduduki tempat-tempat “sakral” yang ada di gedung milik rakyat itu. Begitu juga dalam sesi diskusi yang menampilkan tiga pembicara dan seorang moderator, di-setting seperti halnya sidang paripurna, lengkap dengan palu di atas meja. Kegiatan ini dimaksudkan untuk memicu para anggota dewan menunjukkan kreativitasnya sebagai wakil rakyat.
Antara tahun 2002-2003 dilakukan kegiatan yang sifatnya berkesinambungan. Secara kebetulan kegiatan ini dinamakan “tradisi enam” karena setiap anggota SST dikelompokkan ke dalam grup-grup kecil yang masing-masing berjumlah enam orang.
Sebagai upaya pemicu kreativitas kegiatan ini cukup menarik.
***
Menjelang perhelatan Pemilu 2004 yang mulai memanas, SST merespons dengan menggelar acara pembacaan puisi. Acara ini dipersiapkan agak matang, dimulai dengan semacam workshop mengenai tema acara serta puisi yang harus dipersiapkan. Dilakukan juga semacam investigasi terhadap nama-nama dan track record caleg dari partai-partai peserta pemilu, khususnya untuk daerah pemilihan
Untuk memantapkan ekspresi ketidakpercayaan ini, dua hari menjelang pencoblosan, digelar “Karnaval Golput” yang melibatkan komunitas-komunitas kesenian yang lain. Sesungguhnya karnaval ini sebagai reaksi atas berlangsungnya kampanye “brutal” yang dilakukan partai-partai peserta pemilu sebelumnya.
***
Lomba baca puisi merupakan salah satu agenda rutin yang dilaksanakan SST setiap tahunnya. Kegiatan ini penting untuk apresiasi sastra meskipun sering membuat kami pusing karena harus berurusan dengan birokrasi pemerintah, yang semua orang tahu kepeduliannya terhadap dunia sastra sangat rendah. Ketika mengundang siswa-siswa sekolah untuk menjadi peserta misalnya, maka
Tahun 1997 lomba baca puisi yang kami selenggarakan berlangsung meriah sekaligus menegangkan. Di akhir acara kami menampilkan Ratna Sarumpaet dari Teater Satu Merah Panggung, yang membawakan monolog Marsinah. Di sejumlah
Tahun 1999 lomba baca puisi yang kami selenggarakan sifatnya menjadi terbuka, jadi bisa diikuti oleh peserta dari luar Jawa Barat. Selain itu kami juga menyelenggarakan lomba penulisan puisi nasional serta temu penyair nasional, yang menjadi satu kesatuan acara dengan tajuk “Pesta Sastra Nasional 1999”. Kami mengundang teman-teman penyair seluruh
Untuk acara yang nekad ini tentu membutuhkan biaya. Seperti biasa kami menyebarkan profosal, namun kali ini bantuan yang kami minta bisa berbentuk apa saja. Kapolres menyumbang dua kamar hotel kelas melati serta meminjamkan tiga lembar karpet, Brigif meminjamkan sejumlah tenda dan velbed tentara, pemda mempersilahkan gedung Korpri untuk dijadikan barak peserta. Secara silkulir kami mendapat sumbangan dari beberapa anggota dewan yang kebetulan kami kenal, rata-rata mereka menyumbang antara Rp. 50.000 sampai Rp.100.000. Beberapa pihak yang peduli juga menyumbang secara sukarela, termasuk para pedagang pasar Cikurubuk. Tak lupa kami juga mengirimkan profosal kepada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Dinas yang paling terkait dengan acara ini menyumbang dalam bentuk uang sebesar Rp. 20.000.
Setelah selesai acara kami mengirim
“Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas bantuan yang Bapak berikan kepada kami sebesar Rp.20.000 (baca: duapuluh ribu rupiah) untuk acara Pesta Sastra Nasional 1999, hingga acara tersebut berjalan lancar dan sukses. Untuk itulah, dalam kesempatan ini izinkan kami memberikan penghargaan kepada Bapak berupa uang sebesar Rp. 22.000 (baca: duapuluh dua ribu rupiah) atas kepedulian Bapak terhadap kegiatan apresiasi sastra di daerah. Mudah-mudahan Bapak tidak melihat dari segi jumlahnya, tapi lihatlah sebagai ketulusan dari kami...”.
Di bawah
***
Sejak tahun 2001 kegiatan apresiasi sastra yang kami lakukan tidak terlalu sering berurusan dengan negara atau birokrasi pemerintah lagi. SST, terutama Komunitas Azan yang saya dirikan kemudian, banyak melakukan kerja sama dengan sejumlah lembaga swadaya untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan budaya di Tasikmalaya. Memang kegiatannya tidak hanya terfokus pada sastra, namun pada tema-tema aktual seperti multikultural, prularisme, toleransi beragama, gender dan semacamnya. Meskipun demikian, saya selalu mencoba mengaitkannya dengan kesenian, khususnya dengan apresiasi sastra.
Dalam kurun 2001-2005 kegiatan diselenggarakan hampir setiap bulan, bahkan sebulan bisa dua tiga kali. Setiap kegiatan kami selalu mengirim undangan kepada pemerintah, mulai dari bupati, ketua DPRD beserta jajaran fraksi dan komisinya, dinas-dinas yang terkait sampai RW dan RT. Dalam catatan saya bupati Tasikmalaya, Drs. H. Tatang Farhanul Hakim Mpd, belum pernah sekalipun datang menghadiri acara yang kami selenggarakan. Begitu juga ketika beliau terpilih kembali sebagai bupati untuk yang kedua kalinya. Jadi hampir sepuluh tahun kekuasaannya di Tasikmalaya belum pernah sekali pun beliau menginjakkan kakinya di gedung kesenian, apalagi berdiskusi dengan kami. Yang sering datang justru wakil bupatinya yang pertama, almarhum Drs. H. Dede S. Oeron. Sementara walikota Tasikmalaya sekarang, Drs. H. Syarif Hidayat Msi, sempat datang ketika masih menjabat wakil walikota dulu.
Kembali pada masalah apresiasi sastra. Selain pelajaran sastra yang harus dilakukan lebih serius lagi di sekolah, nampaknya dibutuhkan terobosan dalam upaya mendekatkan sastra kepada pembacanya, yakni masyarakat luas. Terobosan ini harus segera dilakukan untuk kembali menyadarkan kita, khususnya generasi muda, mengenai sikap kebangsaaan yang semakin hari semakin sirna. Terobosannya yang dilakukan harus kreatif dan imajinatif, kalau perlu nakal dan jeprut seperti yang dulu dilakukan para pemuda ketika mengucapkan sumpahnya, yang terbukti mampu menumbuhkan sikap kebangsaan yang kemudian berbuah kemerdekaan. Apresiasi sastra tidak cukup dilakukan dengan cara yang datar dan standar saja.
Bagaimanapun sebuah bangsa tetap membutuhkan karya sastra, membutuhkan puisi, cerpen, novel dan esei. Sebuah bangsa tetap membutuhkan sastrawan, membutuhkan penyair serta masyarakat yang mempunyai minat baca tinggi. Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) yang selama beberapa tahun terakhir sempat menghibur rakyat dengan sepak terjangnya yang kreatif, impresif dan imajinatif, kini pelan-pelan mulai dilumpuhkan. Padahal apa yang telah dilakukan KPK sangatlah indah dan mencerahkan, terutama karena berhubungan langsung dengan hati nurani bangsa. Bagi saya memberantas korupsi yang serius sama indahnya dengan puisi. Sama indahnya dengan apresiasi sastra.
Kini satu-satunya lembaga yang masih dipercaya rakyat tengah menjadi bulan-bulanan, yang tidak menutup kemungkinan sekali waktu akan benar-benar ditenggelamkan. Di tengah riuh-riuhnya kampanye pemilu legislatif beberapa waktu yang lalu, saya iseng menyebarkan SMS kepada teman-teman: Bangsa-bangsa lahir di hati para penyair, lalu mati di tangan para politisi.
(2009)