Share |

Artikel 2

MERENUNGI PANCASILA


Acep Zamzam Noor



SELAMA ini saya tinggal di sebuah kampung yang letaknya sekitar 17 kilometer arah barat kota Tasikmalaya. Di sekeliling kampung saya banyak sekali pesantren, baik yang besar maupun yang kecil-kecil dan pada umumnya mereka “penganut” Nahdlatul Ulama (NU) yang setia. Belakang saya tertarik mengamati lingkungan terdekat saya sambil terus bertanya-tanya tentang Pancasila. Saya baru sadar bahwa di kampung saya penduduknya bukan hanya warga NU saja, tapi banyak juga jema’at Ahmadiyah. Rumah mereka terselip di antara bangunan-bangunan pesantren dan rumah warga lain. Bahkan masjid mereka jaraknya tak lebih dari 100 meter dari salah satu masjid pesantren. Saya disadarkan justru setelah mendengar jema’at Ahmadiyah diserang sekelompok orang yang mengatasnamakan agama. Selama ini kami menganggap jema’at Ahmadiyah tak ada bedanya dengan warga NU, begitu pun sebaliknya. Kami hidup normal-normal saja, kadang mereka ikut pengajian atau tahlilan segala.


Saya juga baru sadar bahwa di sekitar pesantren banyak perempuan yang pergi mandi ke sumur atau sungai dengan hanya mengenakan handuk atau kain, yang hanya menutupi dada dan sebagian paha. Masih di sekitar pesantren banyak juga ibu-ibu yang hanya memakai kutang kalau sedang bersantai di beranda. Saya juga baru sadar bahwa di pesantren pornografi bukanlah sesuatu yang mengerikan, banyak kiai yang sangat porno kalau sedang membahas bab mandi junub atau adab-adab suami istri dalam kitab-kitab fikih. Bahkan banyak kiai membahasnya dengan sangat detail sampai santri-santri yang sudah ngantuk menjadi segar kembali. Saya kemudian berpikir kalau RUU APP (Rancangan Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi) jadi diterapkan mungkin banyak tetangga saya termasuk para kiai yang akan dipenjara kerena melanggar undang-undang.


Saya sangat bersyukur karena pekerjaan saya adalah melukis dan menulis puisi. Sebagai seniman saya mempunyai banyak kesempatan untuk mengunjungi banyak tempat, banyak daerah dan banyak pulau. Sebagai seniman saya mempunyai banyak teman, yang sedikitnya telah mengenalkan keragaman suku, budaya, adat istiadat, kepercayaan dan agama kepada saya. Sebagai seniman saya juga menjadi paham bahwa antara pornografi dan “pornografi” ada bedanya, antara penyanyi dangdut dengan “penyanyi dangdut” ada bedanya, antara yang berjenggot dengan “yang berjenggot” ada bedanya, begitu juga antara ulama dengan “ulama” banyak sekali bedanya. Indonesia ternyata sangat luas, sangat kaya, sangat beragam dan berwarna.


Saya sering diundang atau mengunjungi teman-teman di berbagai daerah, baik di pulau Jawa atau di pulau-pulau lain. Saya berusaha mengapresiasi kesenian-kesenian mereka, tradisi-tradisi mereka, ritual-ritual mereka. Dalam sejumlah workshop tentang kebudayaan di berbagai tempat saya bertemu dengan teman-teman dari Bali, Dayak, Toraja, Bugis, Bissu, Samin, Tengger, Using, Cigugur dan lain-lain. Saya tidak merasa risi berkomunikasi dengan korban-korban G-30S/PKI baik yang dulunya seniman, wartawan, politisi maupun yang hanya ikut-ikutan. Saya juga tidak merasa sungkan didatangi pastor atau pendeta, begitu juga jika memenuhi undangan mereka.


Saya mengenal sejumlah waria, tukang pijat serta para pedagang kaki lima, kadang juga melibatkan mereka dalam kegiatan-kegiatan kesenian. Saya mengenal tokoh-tokoh pemuda yang menganggap partai hampir tak ada bedanya agama. Mereka mengordinir para pengangguran, mengumpulkan preman dan mendirikan “perusahaan” unjuk rasa yang disebutnya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Mereka siap turun ke jalan kapan saja, untuk kasus apa saja, untuk kepentingan siapa saja, asalkan dibayar. Saya juga mengenal baik tokoh-tokoh adat yang keyakinannya sering dilecehkan negara, misalnya dipaksa harus memilih salah satu agama yang dianggap “resmi”. Belakangan saya sempat didatangi anak-anak muda Ahmadiyah yang merasa gerak hidupnya terancam oleh orang-orang yang mengatasnamakan agama, padahal desakan diterapkannya syariat Islam oleh partai-partai tertentu baru saja mereda.


Ketika berbagai masalah sosial dan politik melanda Indonesia, yang kemudian diberi aksentuasi dengan munculnya bencana demi bencana, saya masih percaya bahwa orang-orang kampung di manapun mereka berada masih tetap akan mengamalkan Pancasila. Dengan demikian masih akan tetap mencintai Indonesia. Mungkin mereka tidak mengerti mahluk seperti apa Pancasila itu, apalagi untuk menghapal sial-silanya di luar kepala, namun yang jelas mereka telah mengamalkannya tanpa menyadari bahwa mereka telah mengamalkannya. Mereka semua beragama, mempunyai kepercayaan, harmonis dengan tetangga, saling bantu kalau ada yang kesusahan, saling tengok kalau ada yang sakit, guyub, gotong royong, toleran, hidup sederhana dan tidak sewot dengan munculnya beragam isu, termasuk isu pornografi. Bukankah semuanya itu sangat pancasilais? Bagi orang-orang kampung mengamalkan Pancasila ternyata sangat menyenangkan, menggembirakan, bahkan menguntungkan.


Tiba-tiba saya jadi berpikir, bahwa semakin jauh pada kekuasaan akan semakin mudah mengamalkan Pancasila. Dan sebaliknya, semakin dekat pada kekuasaan akan semakin sulit mengamalkan Pancasila. Bagi para pejabat, para wakil rakyat, para konglomerat atau mereka yang menguasai hajat orang banyak mengamalkan Pancasila ternyata tidak mudah, tidak menguntungkan, bahkan cenderung merugikan. Makanya persatuan di negeri ini akan sulit tercipta, kepentingan kelompok atau golongan akan terus mengemuka, keadilan akan menjadi tinggal kata-kata dan kemewahan akan semakin merajalela di tengah-tengah kemiskinan yang nyata.


(2006)

Prev Next Next