MERENUNGI PANCASILA
Acep Zamzam Noor
SELAMA ini saya tinggal di sebuah kampung yang letaknya sekitar 17 kilometer arah barat
Saya juga baru sadar bahwa di sekitar pesantren banyak perempuan yang pergi mandi ke sumur atau sungai dengan hanya mengenakan handuk atau kain, yang hanya menutupi dada dan sebagian paha. Masih di sekitar pesantren banyak juga ibu-ibu yang hanya memakai kutang kalau sedang bersantai di beranda. Saya juga baru sadar bahwa di pesantren pornografi bukanlah sesuatu yang mengerikan, banyak kiai yang sangat porno kalau sedang membahas bab mandi junub atau adab-adab suami istri dalam kitab-kitab fikih. Bahkan banyak kiai membahasnya dengan sangat detail sampai santri-santri yang sudah ngantuk menjadi segar kembali. Saya kemudian berpikir kalau RUU APP (Rancangan Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi) jadi diterapkan mungkin banyak tetangga saya termasuk para kiai yang akan dipenjara kerena melanggar undang-undang.
Saya sangat bersyukur karena pekerjaan saya adalah melukis dan menulis puisi. Sebagai seniman saya mempunyai banyak kesempatan untuk mengunjungi banyak tempat, banyak daerah dan banyak pulau. Sebagai seniman saya mempunyai banyak teman, yang sedikitnya telah mengenalkan keragaman suku, budaya, adat istiadat, kepercayaan dan agama kepada saya. Sebagai seniman saya juga menjadi paham bahwa antara pornografi dan “pornografi” ada bedanya, antara penyanyi dangdut dengan “penyanyi dangdut” ada bedanya, antara yang berjenggot dengan “yang berjenggot” ada bedanya, begitu juga antara ulama dengan “ulama” banyak sekali bedanya.
Saya sering diundang atau mengunjungi teman-teman di berbagai daerah, baik di pulau Jawa atau di pulau-pulau lain. Saya berusaha mengapresiasi kesenian-kesenian mereka, tradisi-tradisi mereka, ritual-ritual mereka. Dalam sejumlah workshop tentang kebudayaan di berbagai tempat saya bertemu dengan teman-teman dari Bali, Dayak, Toraja, Bugis, Bissu, Samin, Tengger, Using, Cigugur dan lain-lain. Saya tidak merasa risi berkomunikasi dengan korban-korban G-30S/PKI baik yang dulunya seniman, wartawan, politisi maupun yang hanya ikut-ikutan. Saya juga tidak merasa sungkan didatangi pastor atau pendeta, begitu juga jika memenuhi undangan mereka.
Saya mengenal sejumlah waria, tukang pijat serta para pedagang kaki
Ketika berbagai masalah sosial dan politik melanda
Tiba-tiba saya jadi berpikir, bahwa semakin jauh pada kekuasaan akan semakin mudah mengamalkan Pancasila. Dan sebaliknya, semakin dekat pada kekuasaan akan semakin sulit mengamalkan Pancasila. Bagi para pejabat, para wakil rakyat, para konglomerat atau mereka yang menguasai hajat orang banyak mengamalkan Pancasila ternyata tidak mudah, tidak menguntungkan, bahkan cenderung merugikan. Makanya persatuan di negeri ini akan sulit tercipta, kepentingan kelompok atau golongan akan terus mengemuka, keadilan akan menjadi tinggal kata-kata dan kemewahan akan semakin merajalela di tengah-tengah kemiskinan yang nyata.
(2006)