Share |

Artikel 6

BERUSAHA MELAWAN LUPA


Acep Zamzam Noor



TASIKMALAYA Corruption Watch (TCW) dan Imparsial meminta saya untuk menjadi salah seorang pembicara pada diskusi dan pemutaran film “His Story”, sebuah film dokumenter yang merekam seputar perjuangan dan kematian Munir. Diskusi dan pemutaran film ini dimaksudkan untuk menyegarkan kembali ingatan kita pada seorang aktivis HAM yang sampai hari ini kasus kematiannya masih belum bisa terungkap, malah semakin tidak jelas. Saya menyanggupi permintaan tersebut bukan karena ingin ikut nimbrung membicarakan kasus besar yang sudah menjadi isu internasional ini, namun sekedar untuk berusaha melawan lupa. Paling tidak menguji ingatan saya dengan bernostalgia.


***


Peristiwa-peristiwa bergulir begitu cepat, kejadian-kejadian datang silih berganti, kasus demi kasus timbul dan tenggelam tanpa nemberikan kesempatan pada kita untuk mengingatnya, apalagi merenungkannya dalam-dalam. Rasanya belum lama Gus Dur dijatuhkan Amien Rais dan kawan-kawan, rasanya baru kemarin Megawati dielu-elukan dan Akbar Tanjung dibebaskan dari semua tuduhan. Harmoko yang dulu begitu terkenal kini menghilang entah ke mana, tak seorang pun yang mempersoalkannya. Prabowo juga sudah lama tak kedengaran ceritanya. Kita sudah lupa pada Widji Thukul, Yadin Muhidin, Deddy Hamdun, Noval Alkatiri, Petrus Bimo Anugerah atau Yani Avri yang lenyap bagaikan ditelan bumi. Bahkan kita sudah tak ingat lagi nama-nama konglomerat yang dulu pernah membobol uang rakyat. Tahu-tahu bermunculan para pembobol baru yang lebih canggih dan terlatih. Nampaknya kita juga akan segera melupakan mereka.


SBY terpilih menjadi presiden RI. Konglomerat yang terlibat kasus BLBI diangkat menjadi menteri. Andi Mallarangeng yang berkumis tebal menjadi juru bicara. Said Agil Al-Munawar yang kiai masuk penjara, disusul mantan-mantan menteri lainnya yang korupsi. KPU juga ternyata ikut-ikutan korupsi, padahal anggotanya semua akademisi. Gelombang tsunami datang, disusul bencana demi bencana yang tak kalah dahsyatnya. Harga BBM dinaikan setinggi langit. Tunjangan untuk wakil rakyat digelembungkan seolah ingin menghina akal sehat. Munir diracun dalam pesawat. Blok Cepu dilego. Kebakaran hutan tak bisa dipadamkan, semburan lumpur panas tak mampu dikendalikan. Sejumlah desa menghilang dari peta Jawa Timur.


Aburizal Bakrie tenang-tenang saja. Hamid Awaluddin berkelit dari jeratan KPK. Anas Urbaningrum dengan cerdik meninggalkan KPU. Budiman Sujatmiko meniti karier di PDIP. Andi Arif menjadi komisaris PT. Pos Indonesia. M. Padjroel Rachman menulis puisi lagi. Yusril Ihza Mahendra menikah dengan gadis belia. Nurdin Halid memimpin PSSI dari balik penjara. Saefulloh Yusuf menjadi kutu loncat yang lincah. Hatta Rajasa kelihatan lebih tua dari usia sebenarnya. Banyak pesawat yang jatuh, banyak kapal yang tenggelam, banyak ferry yang terbakar, banyak kereta api bertabrakan. Banjir di mana-mana. Longsor menjadi hal biasa. Kecelakaan menjadi proyek. Bencana menjadi anugrah. Nyawa sekedar urusan angka.


“Bangsa Indonesia tengah terjerumus ke dalam satu situasi di mana batas antara salah dan benar, baik dan jahat, moral dan amoral menjadi kabur dan simpang siur. Kita berada pada satu keadaan ketidakpastian moral, pada satu garis abu-abu moral, pada satu titik ambiguitas moral,” kata Yasrap Amir Piliang.


Kita terperangah, namun tak mungkin mengingat semuanya. Peristiwa-peristiwa baru bergulir kembali, kejadian-kejadian lama terulang lagi, kasus demi kasus seperti tak habis-habisnya. RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi terlupakan begitu saja. Rhoma Irama tambah lagi koleksi istrinya. Pollycarpus dilepaskan. Bob Hassan dan Tommy Soeharto menghirup udara segar. Mbah Maridjan menjadi bintang iklan. Maria Eva menjadi idola baru. Yahya Zaini meletakkan jabatan karena malu melihat “burung”-nya yang kecil banyak ditayangkan televisi. Pemerintah mengimpor beras, lupa bahwa sebagian besar rakyatnya adalah petani. Bulog benar-benar menjadi sarang tikus.


TKW-TKW terus dikirim ke luar negeri. Ada yang dijatuhi hukuman mati, ada juga yang babak-belur dipukuli. Para jemaaah haji kelaparan di tanah suci, padahal sudah membayar ONH mahal sekali. Aa Gym akhirnya berpoligami. Teh Ninih dibujuk menjadi sufi. Tokoh-tokoh GAM terpilih menjadi gubernur dan bupati. KPU hanya mata rantai kekuasaan, begitu juga dengan Panwaslu. Di mana-mana pilkada selalu menyisakan perkara lucu. Habibie meluncurkan buku baru. Jusuf Kalla membidik kursi nomer satu, sekalipun belum melaksanakan ucapannya sewaktu kampanye dulu. Mulan Kwok keluar dari Ratu. Poso kembali bergolak, beberapa polisi mati tertembak.


Tsunami terus menghantui pesisir selatan, disusul angin puting beliung. Bantuan untuk bencana alam menjadi bisnis menggiurkan. LSM semakin mirip perusahaan. Partai-partai baru tak bisa diharapkan, apalagi partai-partai lama. Flu burung terus merajalela. Demam berdarah tetap mengintai mangsa. Ada ibu membunuh anak-anaknya. Ayah menghamili puteri-puterinya. Sementara Megawati bersiap-siap maju lagi. Wiranto memasang ancang-ancang. Sutiyoso mencari peluang. Sri Sultan Hamengkubuwono X malu-malu kucing. Amien Rais yang memutih rambutnya, semakin tak kedengaran suara nyinyirnya. Gus Dur masih bicara seenaknya, meskipun semakin tak jelas ke mana arahnya.


SBY mulai sering melupakan janji, namun tidak pernah lupa untuk terus menyanyi. Tiba-tiba saya teringat pada “Bang Toyib”, lagu dangdut yang menceritakan nasib istri ditinggal pergi suaminya. Meskipun liriknya sangat nelangsa namun para penyanyi berbusana seksi selalu membawakannya dengan riang dan gembira, bahkan dengan memutar-mutar dada dan pinggul segala. Seolah antara lagu dan lirik, antara wadah dan isi, atau antara tubuh dan hati, sudah tidak ada hubungannya sama sekali:


Bang Toyib Bang Toyib mengapa tak pulang-pulang

Anakmu anakmu panggil-panggil namamu

Bang Toyib Bang Toyib kapankah abang kan pulang

Anakmu anakmu rindu akan dirimu


Bang Toyib Bang Toyib…


Tiga kali puasa, tiga kali lebaran

Abang tak pernah pulang, sepucuk surat tak datang

Sadar sadarlah abang, ingat anak istrimu

Cepat cepatlah pulang, semua rindukan dirimu


Lama-lama rakyat terbiasa makan nasi aking. Lama-lama rakyat terlatih untuk tidak peduli pada sesama. Lama-lama rakyat gembira menanggung semua derita. Lama-lama rakyat kebal dengan kenaikan harga. Lama-lama dangdut menjadi lagu kebangsaan kita. Anak-anak menyanyi dekat lampu stopan. Waria-waria berjoget di tengah kemacetan. Bayi-bayi menjadi komoditi di pinggir jalan. Dan siapapun yang ingin menjadi presiden, gubernur, bupati, walikota atau lurah, yang namanya korupsi dijamin tidak akan bisa dihentikan. Sebagian koruptor memang diadili, namun kemudian dibebaskan kembali. Kematian Munir masih tetap misteri. Inul Daratista menghilang entah ke mana. Angel Lelga diberitakan menjadi istri kelima juragan batubara.


“Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa,” kata Milan Kundera.


***


Izinkan saya melawan lupa dengan terus bernostalgia, kali ini dalam kaitannya dengan Tasikmalaya.


Sebuah pasar yang berada di tengah kota terbakar. Tak jelas apakah kecelakaan atau memang disengaja. Bupati waktu itu berjanji akan merelokasi para pedagang di pasar baru, sementara lokasi bekas pasar yang terbakar mau dijadikan taman untuk paru-paru kota. Ucapan ini disampaikan berulang kali, termasuk pada saat pembukaan pameran lukisan di sebuah toserba. Para hadirin bertepuk tangan menyambutnya. Selang beberapa waktu toserba tersebut malah terbakar, konon karena aliran listrik. Lalu terjadi pergantian bupati, namun masih sama-sama dari ABRI.


Kerusuhan besar menghancurkan seluruh infrastruktur kota. Ratusan gedung dan ribuan kendaraan hangus dibakar massa. Beberapa orang mati terkurung api. Beberapa polwan bahkan ditelanjangi. Massa menjarah apa saja yang bisa dijarah, termasuk kulkas dan televisi. Sejumlah aktivis, mahasiswa, santri dan tukang becak ditangkapi, diadili dan dipenjara. Mungkin kita sudah lupa bahwa di antara mereka yang terlibat kini sudah memakai baju safari sebagai wakil rakyat, meskipun tak pernah kelihatan komitmennya pada rakyat. Banyak juga yang menjadi aktivis profesional, berjuang membela siapapun yang mau membayar.


Sebuah mall yang megah tiba-tiba didirikan di lokasi bekas pasar yang terbakar. Rupanya lokasi strategis itu dijual mantan bupati sebelum lengser, dengan demikian ia mengingkari janjinya dulu. Para pedagang marah. Pasar baru di pinggiran kota masih jauh dari selesai, dan tentu saja masih butuh waktu lama untuk bisa ramai. Dengan dukungan mahasiswa dan seniman akhirnya para pedagang berdemonstrasi, gedung DPRD diduduki selama beberapa hari. Bupati baru berpihak pada kehendak rakyat. Izin mendirikan mall (yang pembangunannya sedang berlangsung) dibatalkan. Masyarakat pasar tepuk tangan.


Mantan bupati yang sudah berniat hidup tenang dengan membangun pesantren di sekitar Galunggung rupanya tersinggung. Di usianya yang senja ia turun gunung untuk berpolitik lagi, dan berhasil menguasai partai lama. Terjadilah pertarungan yang seru antara elit lokal. Demonstrasi berlangsung hampir setiap hari, aksi-aksi silih berganti. Kerusuhan-kerusuhan kecil terjadi. Sejumlah mahasiswa dipukuli pendukung mantan bupati, beberapa masuk rumah sakit. Salah seorang pemukul, yang konon anak dari mantan bupati tersebut, sempat diseret ke meja hijau.


Bupati yang berpihak pada kepentingan rakyat akhirnya dilengserkan, kemudian diganti oleh politisi muda yang didukung kekuatan lama. Tasikmalaya terpecah dua, menjadi kabupaten dan pemerintahan kota. Maka jatah kursi untuk para birokrat dan wakil rakyat pun bertambah. Dengan demikian lahan untuk korupsi semakin bertambah pula. Penerapan syariat Islam tiba-tiba dijadikan wacana. Poligami pun merajalela.


“Dengan semangat juang 1945, maju terus pantang malu,” seru sebuah spanduk dari Partai Nurul Sembako yang membentang di Jl. H.Z. Mustofa.


***


Film “His Story” bagi saya mempunyai makna yang lebih dari sekedar mengenal sosok Munir dengan segala sepak terjangnya. Sebagai aktivis dengan reputasi internasional tentu saja ia tidak akan mudah kita lupakan. Kematiannya masih terus diusut dan menjadi berita. Buku-buku tentangnya masih terus ditulis, bahkan dibuatkan film segala. Tapi bagaimana dengan aktivis-aktivis lokal yang juga menjadi korban? Pelajaran berharga yang bisa ditarik dari film dokumenter ini adalah betapa pentingnya kita memelihara ingatan.


Oya, belum lama ini sebuah mall yang megah diresmikan walikota di lokasi bekas pasar yang dulu terbakar. Kita semua sudah lupa bahwa sembilan tahun lalu para pedagang, mahasiswa dan seniman menolak dengan keras pembangunan mall tersebut, yang kemudian kasusnya berbuntut panjang. Desain mall yang diresmikan sekarang jauh “menyimpang” dari rencana mall yang ditolak dulu. Area taman dan lapang parkir bagian belakang yang cukup lapang dalam desain lama, kini tidak tersisa lagi karena dijadikan deretan ruko. Kendaraan-kendaraan meluber sepanjang bahu jalan, dan tentu saja membuat para pedagang kaki lima harus hengkang.


Tapi sudahlah. Sebagai akhir dari pembicaraan ini, marilah kita dengarkan bersama-sama sebuah lagu dangdut dari Anita Kemang, yang mungkin bisa sedikit menyegarkan ingatan tentang siapa sebenarnya kita: Sudah mabuk minuman/Ditambah mabuk judi/Masih saja kakang/Tergoda janda kembang/Tak sudi ku tak sudi//Sudah banyak buktinya/Suami mabuk janda/Lupa kasih sayang/Juga tak pulang-pulang/Istri disengsarakan….


(2006)

Prev Next Next